Quantcast
Channel: "Fuck!" Say I
Viewing all 106 articles
Browse latest View live

Dear Damian...

$
0
0
Sticker Travel Warning di tiang di Gronningen. Gambar diambil dari sini


Nasionalisme adalah cinta yang berhenti di perbatasan negara.

- Pidibaiq


Dear Damian,

Gimana tour de Java-mu? Menyenangkan? Jadi tahunbaruan di Bromo? Apa kabar latihan nari di Padepokan Bagong Kussudioardjo di Jogja kapan hari itu? Masih ingat gerakannya? Kamu mau pentas buat Agustusan di Itria ya? Kan masih lama. Oh, biasanya di sini kalo Agustusan—perayaan kemerdekaan Indonesia—ada pentas seni gitu di tiap wilayah. Asik sih, biasanya ada anak-anak kecil nari atau nyanyi dan anak-anak mudanya nge-band. Tapi beberapa tahun belakangan ini jadi nggak asik lagi. Soalnya jaman aku kecil dulu yang nari masih bocah-bocah lucu pake lagu anak-anak. Sekarang anak-anaknya malah jejogetan pake lagu India atau house music. Idih!

Damian,

Maaf ya nyerocos sembarangan. Aku nggak kenal kamu sama sekali. Tapi aku takjub baca linimasamu. Nggak nyangka aja ada manusia setengah bulé niat banget belajar budaya Jawa, dalam tempo singkat tapi serius, sekaligus terancam istirahat total akibat kondisi fisik menurun. Aku cuma tahu kamu sedang napak tilas, menyambangi tanah tempat leluhur dari pihak bapakmu dan kamu jatuh cinta pada kultur yang sama sekali asing dari yang biasa kamu dapati di pelosok Italia, tempat lahirmu, tempat yang kamu bilang ngademin hati, mirip Batu di Malang. Aku terharu lho waktu tahu kamu punya banyak teman bertangan ringan di sini, melalui percakapan maya bantuin kamu memahami arti kata yang bagimu asing—yaaa.. meskipun nggak sedikit yang usil sih. Semacam “sumuk ra keringeten, susune dimukmuk ora keri kebangeten”. Tapi begitulah kami, orang Indonesia. Selalu ramah membantu orang asing. Setidaknya, seperti itulah sebagian kecil dari kami di sini. Mungkin keramahan itu juga lah yang sempat membuat kami dilindas pemburu rempah dan tanah.

Eh, tapi kata ibuku kebanyakan orang-orang Indonesia itu jahat. Kalau kamu jalan-jalan ke SD Negeri, hampir semua tukang jajanannya nggak ada yang beres. Campuran minyak panas dan plastik untuk bikin gorengan tetap renyah? Oh, itu biasa. Air dekil nggak dimasak untuk buat bikin es mambo? Dari aku sekolah juga udah ada yang begituan. Atau makanan yang pewarnanya secerah lurik ular berbisa mematikan dari pedalaman hutan Amazon? Buwanyaaak. Belum lagi gedung SD-nya yang sejak dibikin pun dananya sudah ditilep. Lalu guru dan kepala sekolahnya yang harus ngobyek bikin les ini itu atau jual LKS ke anak didik karena gaji sedikit nggak cukup menutup kebutuhan harian. Lalu anak-anak yang suka menindas karena tertekan dengan kondisi di lingkungan terdekat, rumah mereka sendiri, yang keluarganya pas-pasan, yang bapaknya cuma buruh atau pegawai pabrik dan ibunya hanya…

Ummm… sepertinya nggak usah diterusin. Kita bahas yang lain aja.

Ngomong-ngomong sudah berapa perempuan lokal yang kamu patahkan hatinya? Haha! Jangan kaget ya kalo mbak-mbak di sini kadang-kadang suka giras lihat bulé. Apalagi yang masih mentah kayak kamu. Bawaannya kepingin banget nenenin, nyodor-nyodorin dada dan bibir. Ya mungkin sama sih pikirannya. Sebagaimana kamu memandang perempuan berambut hitam dan berkulit sawo matang adalah eksotis, kami, perempuan Indonesia dengan orientasi heteroseksual, juga beranggapan bahwa lelaki berkulit pucat dan berambut pirang adalah unik. Dengan berjamurnya shitnetron bertabur wajah-wajah blasteran di layar kaca yang misi mahamulianya adalah pembodohan, sepertinya ternak bayi bulé adalah bisnis menggiurkan untuk investasi jangka panjang. Kalau kamu mau ikutan, nanti aku bikinin business plan-nya terus aku presentasi ke kamu. Soalnya aku juga nggak punya pejantan, sementara nyari cewek doyan bulé mah di sini banyak.

Tapi aku nggak nyalahin mereka kok, perempuan-perempuan doyan bulé itu. Prilaku mereka ini mungkin sama seperti berharap (berdoa?). Ketika mereka punya anak bermuka Indo atau “tentengan” cowok asing, maka nilai mereka akan terdongkrak di muka publik. Sayangnya, belakangan ini omongannya malah sedikit miring. Syahdan menurut konon, perempuan lokal malah harusnya merasa beruntung kalo nggak dilirik bulé. Soalnya bulé itu seleranya yang mukanya mirip-mirip pembantu rumah tangga. Aku sih nggak setuju sama pendapat itu. Soalnya beberapa teman-temanku yang suaminya bulé nggak ada satupun tuh yang tipikal kulit-coklat-matang, rambut-panjang-awut-awutan, keminggris-cuwawakan-nggak-bisa-bedain-kapan-pake-are-dan-kapan-pake-do.

Oh, kamu tahu TKW nggak? TKW itu Tenaga Kerja Wanita. Mereka, perempuan-perempuan hebat dan tabah itu, rela meninggalkan tanah air, orang-orang terkasih dan rumah tempat hati dan jiwa mereka berada, selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, demi periuk nasi yang harus terisi setiap hari dan anak-anak yang harus sekolah. Mereka itu pahlawan devisa. Tenaga dan waktu mereka adalah penggerak roda kapital dan perekonomian terbesar—jika saja pemerintah menggarapnya secara benar. Dulu aku punya tetangga TKW. Dia salah satu yang beruntung. Majikannya orang kaya di Saudi sana. Tugasnya hanya mengurusi nenek renta di kursi roda, yang kebetulan sering diajak jalan-jalan sampai London, Paris, dan Belanda. Kata si tetangga, Kak Fitri namanya, di agensi tempat dia disalurkan dulu banyak perempuan-perempuan yang berangkat membawa obat tradisional untuk menggugurkan kandungan atau jamu perawatan vagina. Yang mana yang akan dipakai, tergantung majikannya. Jika kaya dan ganteng, yang kedua. Jika menyebalkan dan kasar, yang pertama. Dan sering sekali kejadian perempuan-perempuan yang bertahun-tahun tinggal dan bekerja di tanah seberang pulang-pulang berbadan dua atau membawa buntut. Untung saja dulu Kak Fitri sempat ikut bantuin bidan di kampungnya. Jadi, dia sedikit-banyak tahu bagaimana reramuan tradisional tersebut bekerja. Baik yang pertama maupun yang kedua.

Kamu perokok ya, Damian? Aku juga. Tapi sementara harus berhenti dulu seminggu belakangan ini—dan masih seminggu ke depan lagi hingga betul-betul pulih. Sedang flu dan batuk. Dan aku nggak mau bandel maksa ngerokok karena aku nggak tahan tenggorokanku mahagatal dan kepalaku supersakit akibat sinus kambuh.

Tapi aku benci perokok. PEROKOK ya, bukan rokoknya. Orangnya. Bukan produknya. Soalnya mereka kalo ngerokok suka nggak lihat orang lain. Di bis, di kantor, di dalam ruangan berpendingin udara dan tanpa kipas maupun jendela terbuka. Yang paling menyebalkan adalah orang yang merokok di ruang instansi tempat dia bekerja melayani rakyat yang membayar gajinya melalui pajak. Tengok kantor Samsat Bogor kalau mau bukti. Atau kantor kelurahan/kecamatan di mana pun kecuali di Jakarta (karena sejak The Dynamic Duo Jokowi-Basuki merajalela, dengar-dengar para aparat ini jadi ketar-ketir takut disidak sehingga semua alur kerja berjalan secara baik dan benar). Yang paling menyedihkan adalah ketika seorang ayah/ibu sedang merokok sambil menggendong bayinya atau nongkrong bareng teman-temannya yang perokok. Itu bangsat, karena anak berhak dapat udara sehat. Kalaupun dia tinggal di Jakarta yang terlanjur nggak sehat, setidaknya anak berhak untuk tidak ditambahi racun dari asap rokok.

Aku kedengeran kayak orang munafik ya? Mungkin benar. Mungkin memang seperti itu. Tapi aku sendiri nggak suka dengan asap rokok orang lain yang kena mukaku. Dan aku nggak suka bagaimana iklan rokok memberi stigma bahwa siapapun yang kedapatan menghisap batang nikotin adalah keren dan layak tiru. Iya, aku perokok. Tapi aku nggak mau jadi contoh bagi para dedek-dedek yang baru coba-coba merokok karena melihat aku. Iya, aku perokok, tapi aku juga mikir hak mereka yang bukan perokok untuk mendapatkan udara bebas asap rokok. Dan ini bukan sekadar perang antara perokok dan yang bukan. Ada kepentingan lebih besar lagi di balik iklan pabrik rokok yang visualnya maha edan kerennya itu. Kamu sempet kepikiran nggak kenapa di Eropa nggak ada iklan rokok sementara di sini kemanapun kepala menoleh adanya cuma iklan rokok? Karena perusahaan rokok cari pasar di negara-negara dunia ketiga yang kesadaran kesehatan dan pendidikannya rendah. Termasuk di Indonesia. Jadi, kita kelimpahan nggak enaknya. Sudah miskin, penyakitan, dieksploitasi pulak sama perusahaan candu perusak. Halah.

Oh, kamu suka nyimeng nggak? Kalo iya, cari aja berita tentang pemusnahan barang bukti ganja. Biasanya dikasih tau tuh di polres/polsek mana. Dan musnahinnya itu dibakar. Kebayang kan gimana hepinya kita kalo ada deket-deket situ?! Hihi. Di Italia pasti nggak ada begitu-begituan.

Terus, di Indonesia sini yang paling penting adalah moral yang direpresentasikan dalam bentuk agama. Sebagaimanapun kamu berguna dan berfungsi di masyarakat maka kamu dianggap nggak bermoral kalo nggak beragama. Dan apapun profesimu, nggak penting punya kemampuan di bidang keprofesian itu. Karena yang terpenting adalah moral. MO. RAL. Titik. Makanya jobdesc mulai dari RT sampai menteri jadi rada-rada rancu. Ya… gimana ya? Kan biar sesuai Pancasila dan berketuhanan (padahal kita tahu seringkali tuhan dan agama nggak satu paket). Misalnya nih, Kementrian Informasi dan Teknologi. Nggak penting dia punya wawasan tentang gimana pemakaian internet dan kebebasan berekspresi di ranah maya. Nggak penting untuk dia tahu gimana alur kerja dari request koneksi di personal computer sampai website termuat sempurna. Tapi amat sangat maha penting untuk melindungi moral warga negara Indonesia dari pengaruh jelek pornografi. Nggak papa hasut-hasutan dan hate speech selama orang melakukannya dalam koridor agama. Pasti banyak yang dukung. Dan kata kunci adalah kompas penunjuk kebenaran, mana yang harus enyah dan mana yang harus tinggal. Eh, kamu mau tahu nggak kata kunci apa yang orang-orang pakai sampai nyasar ke sini?



Lucu kan? Hihi. Mereka yang pake kata kunci itu pasti kaget tuh. Nyarinya apa, nemunya apa. Padahal aku kan nggak sengaja pake istilah-istilah selangkangan. Beneran deh.

Bikin miris, kalau kamu iseng merhatiin televisi pas lagi ada berita persidangan koruptor, kamu akan lihat bedanya ketika si tersangka baru diciduk atau duduk sebagai saksi di sepanjang proses persidangan. Kamu akan lihat bagaimana terlihat alimnya seorang terdakwa dengan peci dan kerudung, termasuk beberapa pesohor Indonesia yang tersandung kasus kriminal karena berantem cakar-cakaran pulang mabuk dari kafe. Mereka pun mendadak terlihat suci-semuci. Indah dipandang mata. NOT!

Ngomong-ngomong tentang Pancasila… Pak Karno dan Pak Yamin yang merumuskan lima dasar dari akar falsafah Nusantara itu, kepikiran nggak ya kalau buah pikirannya diselewengkan sedemikian rupa sekarang ini? Mereka berdua pasti sedih kalau tahu sila pertama sering dipakai sebagai pembenaran untuk membungkam pendapat dan sila kedua sering diabaikan. Mengutip Rocky Gerung, mengapa bukan “Kemanusiaan yang maha esa” dan “Ketuhanan yang adil dan beradab”?

Asal kamu tahu aja nih ya, di Indonesia tuh tempat babu belagu. Iya, babu-babu yang gajinya dibayar pakai uang pajak hasil keringat rakyat. Mereka tega lho ngeliat majikannya banting tulang cari duit (karena sebagian besar orang Indonesia adalah miskin) dan masih minta naik gaji. Belum lagi kalau pajak itu juga dikorupsi, atau dana bantuan dipotong lalu masuk kantong sendiri. Sudah begitu, kalau mereka mau ke mana-mana di jam sibuk juga nyusahin juragannya lagi, bawa-bawa voorijder buat bikin jalanan lengang supaya mereka bisa lewat dengan nyaman. Padahal majikan-majikan yang membayar mereka harus umpel-umpelan di dalam Kopaja, Metromini, atau bus TransJakarta. Nyebelin kan?!

Indonesia juga negara susah mimpi. Untuk mewujudkan cita-cita standar seorang bocah (yang diarahkan orangtuanya?), misalnya saja jadi dokter, tentara/polisi atau arsitek. Cita-cita pertama uang masuknya SAJA bisa seratus juta. Cita-cita kedua juga. Nah, cita-cita ketiga ini yang mungkin uang masuknya standar kuliah biasa. Tapi ya alatnya nggak ada yang murah. Student loan yang bisa dijadikan motivasi para bibit-bibit tenaga kerja untuk cari duit dan jadi berguna pasca menjadi sarjana berasal dari tetangga atau kerabat kaya yang pembayarannya adalah gunjingan sepanjang hayat dikandung badan.

Dear Damian,

Maaf ya kalau bikin kamu males bacanya. Bukan maksudku kok kayak begitu. Aku cuma mau kamu tahu seperti apa negara yang budayanya kamu pelajari ini, yang sering kamu sambangi demi memuaskan kegatalan kaki menjelajah tempat-tempat baru. Sejujurnya, aku juga males kok nyeritainnya. Tapi kamu masih lebih beruntung, bisa pulang ke Itria, berpaling sejenak dari kebrengsekan sistem yang dipelihara sebuah organisasi besar bernama negara. Lha aku?! Sepertinya aku akan rela membusuk di sini, di tempat yang tanahnya dipatok-patok korporasi minyak Eropa dan Amerika; yang setiap hari adalah petualangan karena kami nggak pernah tahu keapesan apalagi yang menghadang di tikungan jalan (pernah dengar Khaerunisa, anak pemulung yang mati muntaber dan si bapak membawa mayatnya dari rumah sakit dengan KRL karena tak punya biaya sewa ambulans? Itu salah contoh keapesan); yang harus selalu sehat karena sakit sangat mahal sekali; yang dipaksa bodoh karena pendidikan juga mahal sekali; yang memiliki peternakan calo peliharaan instansi (halo, kantor imigrasi!); dan semua hal pembuat mual jika kamu mengalaminya sendiri.

Tapi sebagaimana yang kupercaya selama ini, bahwa cinta adalah penerimaan dalam senyap setelah babak bundas berusaha berbenah, pembebasan maha mutlak dalam segala hal. Termasuk cinta negara. Aku nggak mau cinta yang terbentur batas demarkasi. Dan manusia-manusia yang tinggal di sini—aku yakin benar—punya cinta yang nggak kalah besar dengan kamu si pelancong. Kita punya cara beda-beda. Kamu dengan belajar bahasa dan nari, kami dengan nyelain sistem dan negara salah urus. Hihi. Lho, jangan salah. Kalau kita masih mau buka mulut dan mengkritik hal-hal yang kita anggap salah, itu adalah bukti kepedulian. Dan orang yang nggak sayang, nggak cinta, nggak mungkin mau peduli. Iya kan? 

Tapi aku yakin kok, kamu aku, mereka, kita, punya satu cinta yang sama: pada budaya, pada bentang alam, pada manusia. Pada bangsa. 

Selamat menjadi Indonesia. Selamat menjadi warga dunia. Dan selamat tahun baru, Dear Damian. Ini buat kamu.























Catatan 1: Chance, Anyone?

$
0
0


Universe is never kind, nor just, nor gentle, nor evil. Whatever happens, it is its way of balancing to its equilibrium. 

Percaya kebetulan terjadi untuk suatu alasan? Saya nggak. Kadang apa yang dinamakan "kebetulan" hanya sekadar hal yang emang udah jatah saya buat ngalamin. Termasuk di dalamnya adalah keberuntungan dan keapesan.  

Lalu permohonan yang nggak sengaja terucap dalam hati pada November tahun lalu berbuah tiket pesawat hari Sabtu nanti. Di tengah siklus banjir beberapa tahun sekali yang melanda Jakarta dan sekitarnya saya harus berbenah, memasukkan hidup yang selama ini saya jalani agar muat ke dalam satu ransel (dan satu tas selempang). 

Saya nggak mau membebani mbak-seksi-ibu-tunggal yang akan jadi tempat saya menumpang nanti. Jadi, apapun yang terjadi semoga posting kerjaan lancar mampir ke surel supaya saya bisa bantu-bantu bayar tagihan listrik. Kalau nggak betah, Jawa dan seisinya juga nggak bisa menolak saya jika ingin balik lagi. Bukan pulang, karena saya percaya Bumi dan seisinya adalah "pulang" saya. 

Saya bukannya nggak bersimpati dengan keluarga saya yang ketika saya mengetikkan ini mungkin belum sempat tidur sekejappun karena rumah masih tergenang air sementara saya 30 km lebih jauhnya (menurut hasil tracking Google Map), di lantai dua, berselimut, dalam keadaan bersih, kering dan hangat. Namun keluarga kami percaya tidak ada kesempatan kedua. Jadi, dapetnya sekarang ya jalan lah sekarang. Semua serba dadakan, impulsif, terburu-buru. Mungkin itu yang kalian lihat. Di mata saya, semua adalah petualangan. Saya nggak sempat bertanya apa yang ibu saya pikirkan mendengar anak pertamanya yang jarang di rumah mau nyebrang pulau dan berencana menetap di sana. Mungkin beliau hanya menganggap saya pindah kos lagi. Atau ada project di mana lah yang mengharuskan saya melenyap beberapa bulan. Semacam itu.

Dan seumur hidup I'm bad with goodbyes. Mendingan orang nggak tahu saya pergi ketimbang saya harus pamit, memandangi wajah (yang sepertinya) sedih atau disedih-sedihkan karena saya bakal nggak ada secara fisik ketika mereka perlu saya dan sebaliknya. Saya masih perlu kalian. Teman, kenalan, siapapun yang interaksinya menghidupkan saya setiap mata saya membuka. Namun seperti yang sudah pernah saya lakukan berkali-kali: ada proses eliminasi untuk bisa maju; ada beberapa yang harus ditinggal supaya nggak keberatan bawa bagasi tambahan berupa kenangan emosional; ada adaptasi dan kompromi yang mengharuskan saya menatap sepasang mata manusia yang belum saya kenal sama sekali. Dan itu hanya siklus, mencari titik kesetimbangan dalam hidup saya yang nggak pernah seimbang.

Ketika saya mengetikkan ini, pukul enam lewat dua menit di Jumat pagi, saya dengar suara hujan menderas lagi dari luar jendela kamar. Dalam kepala saya ada gambaran tentang para pengungsi banjir yang harus meninggalkan kediaman mereka menuju tempat-tempat penampungan, berhimpit-himpitan dalam dingin menggigit dan lapar, pakaian seadanya, nggak bisa ngapa-ngapain selain duduk memeluk kaki berdampingan dengan orang-orang paling terkasih. 

Sebelah diri saya menghela napas sedih. Mengapa kalian sia-siakan kesempatan sepanjang waktu dan tidak melakukan apapun untuk menghalau air kiriman hingga banjir terlanjur menghantam? Mengapa kalian bersikukuh tinggal di tempat-tempat dengan saluran air buruk? Mengapa semua orang nggak punya kesadaran tinggi tentang standar bersih yang seragam? Namun diri saya yang sebelah lagi menghela napas lebih sedih, membayangkan ada kanak-kanak, bayi, ibu hamil dan menyusui, sesepuh dan hewan peliharaan yang mengalami nasib serupa. Sekali-kalinya dalam hidup, ketika saya sampai di "sini", saya ingin harapan saya terkabul oleh siapapun yang mendengar, entah Tuhan atau setan atau alien:

universe, be nice to those people and stop the rain.

Dengan harapan yang sama saya akan berangkat besok. 

Don't say goodbye. Saya cuma jalan-jalan, bukan mau mati. Therefore, I'll be seeing you all again, bastards. One of these days...

(=




                           

... And the Devil May Cry: Atheism 101

$
0
0
PENYANGKALAN:

Isi tulisan berikut akan seperti judulnya, dan kebenaran (menurut mereka yang menganggap ini benar) di dalamnya akan saya sampaikan dengan bahasa selembut mungkin. NOT! Hihi. Bagi pengunjung parno silakan keluar dengan baik-baik. Mau misuh-misuh dulu di kolom komen juga nggak papa. Bagi yang punya iman, silakan pasang sabuk pengaman dogma.
Terima kasih
(=

Tulisan pada gambar menjelaskan segalanya. Nggak usah pake link lagi.

Halo! Selamat hari Rabu! Sudah berdoa hari ini? Saya sih nggak. Maafkan jika terkesan belagu. Tapi beberapa tahun belakangan ini saya tersadar kok, berdoa atau nggak itu sama saja. Kita nggak bisa ngeles dari hukum sebab-akibat. Jika suatu hal terjadi sesuai dengan kehendakmu--atau kebetulan kamu mendapatkan hal menyenangkan yang nggak kamu sangka--ya selamat. Berarti kamu beruntung. Teori probabilitas sedang memihakmu. Sesederhana itu. Bukan hasil keajaiban, bukan karena kemudahan yang diarahkan semesta.

Dan karena saya sering sekali ikutan nongkrong-sok-ikut-diskusi-biar-dibilang-asik-padahal-cuma-pengen-ngemil-gretongan bareng teman-teman yang berani menyebut diri sebagai godlessly skeptical and faithless bunch, sekarang saya mau sotoy masalah mitos seputar ateisme--ketidakpercayaan terhadap Tuhan--secara umum. Dan apakah saya ateis? Belum tentu. Saya sih nggak pernah menyebut diri seperti itu. Kamu mau nyangka seperti itu ya monggo. Saya nggak ngelarang. Tapi bahasan tentang -isme apapun buat saya selalu menarik. Dan sebagaimana penganut paham -isme yang baik, saya yakin dan percaya bahwa di dalam ayam luarbiasa besar ini, ayam semesta (owkey. Garing. Sila disiram), hanya ada dua keyakinan: pitoisme dan apitoisme. 

Mulai? Yuk!

Mitos:
Semua orang ateis adalah manusia bejat tidak bermoral

Ah, yang beneeer... udah pernah liat Legatum Prospeity Index? Itu lho, indeks prestasi tahunan yang dibikin satu institusi yang kerjaannya ngurusin jeroan negara lain dan dibikin ranking-nya berdasarkan kekayaan, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan pribadi dan kualitas hidup. Negara jagoan yang diusung-usung sebagai percontohan dan menempati posisi pertama selama tiga periode adalah Norwegia yang menurut poling tahun 2005 47% dari penduduknya percaya adanya kekuatan kehidupan. Bukan Tuhan normatif sebagaimana definisi berbagai aliran keyakinan. Padahal bejat atau nggak itu kan manusiawi. Nggak usah jauh-jauh juga lah sampe ke Norwegia. Banyak contohnya juga kok di sini, dan ditunjukin sama orang-orang yang (mengaku) sangat percaya Tuhan. Halo, para koruptor yang mendadak berkerudung dan berpeci ketika sidang! Halo, Aceng Fikri, Diani, Ratu Atut, Rhoma Irama, Fauzi Baadilah, para guru ngaji dan pastor yang tangannya suka plak-plek aja ke jamaah/jemaat perempuan muda dan orang-orang yang selalu dengan mudahnya menyebut berbagai keapesan sebagai konstipasi Wahyudi! 

My point is, moral adalah standar abstrak yang terlalu berat jika dikenakan pada agama dan Tuhan. Punishment-and-reward di hari akhir nggak membantu membuat efek jera bagi pelaku karena nggak kelihatan sama manusia bermata telanjang.  Nggak usah lah muluk ngomongin moral. Golden rule aja dulu: karena tahu dicubit itu sakit, ya jangan nyubit. Karena tahu kecolongan itu menyebalkan ya jangan nyolong. Nggak enak dihianatin? Ya jangan berhianat. Itu untuk pribadi, per individu. Kontrolnya? Integritas. Sama lah nggak keliatannya sama neraka dan surga. Tapi setidaknya kalo kamu punya yang namanya integritas, sistem nilai pribadi yang code-of-conduct-mu nggak lepas dari itu, kamu boleh bangga dengan dirimu sendiri karena sanggup melangkah di jalan yang benar. So, nggak banyak menyimpang kan dari orang-orang beragama yang code-of-conduct-nya juga sesuai dengan kitab suci? Untuk komunitas atau organisasi besar bernama negara? Awas aja ada yang ngomong Sumpah Pocong. Nggak, bukan itu. Tapi hukum yang jelas, Nyeeet. Hukum!

Mitos:
Orang-orang ateis nggak punya hati

Eh? Dikemanain hatinya? Dijadiin sambel goreng? Hihi. 

Pengalaman saya malah menunjukkan sebaliknya tuh. Justru orang-orang yang mengaku bertuhan itu yang kebanyakan nggak punya hati. Contohnya ya nggak usah jauh-jauh lah. Masak berbuat baik aja mesti diiming-imingi pahala dan surga sih? Hayo, yang masih beragama. Ngaku aja lah, dalem hati juga nggak papa. Saya juga nggak tahu kok. Owkey, kalaupun nggak ngerasa berharap pahala. Mosok tetep ada embel-embel ganjaran di dunia setelah mati? Beberapa teman saya yang ateis malah tidak menyantap produk binatang dan olahannya karena menurutnya itu perbudakan dan penindasan manusia terhadap mahluk hidup beda spesies. Ya  meskipun beberapa lagi masih pada suka babi panggang sih...     

Terus terang saya sebal sekali dengan ganjar-mengganjar ini. Masalahnya saya pernah ngalamin sendiri nyariin link buat teman di luar kota yang teramat sangat perlu rekan diskusi tepat sehari sebelum Ramadhan. Waktu saya dapat kontak ke manusia yang sekiranya mumpuni, saya minta teman saya itu untuk kenalan sendiri, sowan ke sanggar belajar si bapak itu yang syahdan menurut konon sih nyaman banget dipakai nongkrong. Namun bapuk sekali, Saudara! Teman saya ditolak dengan alasan sanggar tutup karena ingin fokus ibadah.

Cari selamet sendiri sementara ada orang lain yang lebih perlu bantuan dan dia juga nggak diburu-buru? Ada yang lebih nggak punya hati daripada orang yang membiarkan orang lain tidak berdaya?

Mitos:
Mereka yang nggak percaya Tuhan itu miskin imajinasi!

Pernah dengar ungkapan "we are made of star stuff"? Itu Carl Sagan yang bilang, ilmuwan ateis bule yang sama sekali bukan tetangga saya di Jogja. Dan budaya Pagan? Dewi kesuburan berpaha dan bertetek buwesar sekali itu? Vitruvian Man-nya Da Vinci dan semua lukisan dan mural hasil karyanya yang menghias rumah-rumah ibadah? Oh, tapi jangan salah. Memang para teis lebih jago berimajinasi sih...          

Mitos:
Semua orang ateis kaku, sangat rasional, dan bukan pecinta yang baik

SANGAT SALAH! Mereka cenderung periang, suka membantu dan hidup untuk hari ini. Mereka nggak punya tujuan setelah mati, nggak punya kotak tambahan yang membebani mereka dengan larangan--kecuai konsensus moral dan etika masyarakat. Tapi ya itu balik lagi ke karakter masing-masing sih. 

Mitos:
Semua ateis itu pintar

HUAHAHAHAHA! Nyatanya ya nggak lah. Ada juga ateis yang datang dari kalangan sakit hati karena merasa minoritas. Di sini yang seringkali saya dapati ateis-fundamentalis. Ateis klotokan ini yang kadang nggak simpatik dan tiap ngobrol sama beliau bawaannya pengen bawa parang atau ngajak carok. Tapi ya gitu deh. Akan selalu ada fundamentalis untuk setiap -isme. Hihi.

Dan seperti halnya semua pencapaian kesadaran/spiritualitas/matrix/whatchamacallit, begitu juga dengan ketidakpercayaan. Ada yang sampai ke "sana" karena banyak mencari jawaban dan pertanyaan-pertanyaan tepat, ada juga yang ke "situ" karena membeo. Ya kamu bisa tahu lah seperti apa orang-orangnya kalau berkesempatan ngobrol minimal sejam.  

Segitu dulu aja ya. Nanti kalau inget ada apa lagi gitu saya update. Hihi. Tapi intinya itu aja sih, kenapa saya nulis kayak begini. Terkadang orang mengkotak-kotakkan manusia di luar diri mereka dengan hal-hal yang mereka asumsikan sendiri sampai mereka kerap lupa bahwa adanya mulut salah satunya juga untuk bertanya dan minta klarifikasi.

Salam dingin dari Dalung, Bali!
*tarik selimut, tidur*

        

Kita Lahir dari Kemesuman: Tentang Seksualitas

$
0
0
Gambar dicomot dari sini.

Hey, don't knock masturbation. It's sex with someone I love.

- Woody Allen as Alvy Singers in Annie Hall

Owkey. Saya yakin semua orang yang nyasar sampe ke rumah virtual saya ini sudah pada gede, jembutnya juga sudah banyak, dan saya yakin pemikirannya juga sudah dewasa, nggak seperti bocah yang kalo nggak suka lalu ngambek. Jadi, saya akan ngomong blak-blakan aja.

SAYA. MAU. NGOMONGIN. SEKS. 

Iya. Seks. Kelamin. Organ reproduksi. Hal paling pribadi di tubuh manusia. Dalam konteks ilmiah dan serius. Bukan buat bercanda. Itu juga kalau saya mampu. 

Jadi begini… 

Saya bisa bilang saya beruntung. Sedari kecil saya dan adik belajar tentang seksualitas sendiri dari sumber paling terpercaya: orang tua. Awalnya sederhana, belajar membedakan kelamin lelaki dan perempuan sambil mandi bersama, dan belajar menghormati kelamin sendiri dan orang lain dengan tidak mengumbar atau mencela organ tersebut sembarangan. Ibu saya mungkin adalah orang tua paling moderat, paling terbuka dan paling legowo yang pernah dipunyai anak Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi biasa saja. Pengetahuannya yang hanya sebatas lulusan SMA tidak membuatnya picik dan menjangankan semua hal yang seharusnya diketahui seorang anak. Dia akan menjawab semua pertanyaan, menjelaskan semua kebingungan saya dan menjabarkan semua hal yang saya tuntut penjelasannya dengan bahasa yang bisa saya mengerti. Meskipun masih menyebut “tutut” untuk penis dan “mimok” untuk vagina. 

Saya pernah menjadi konsultan seksual saat kelas 6 SD, menjelaskan secara gamblang bagaimana sperma bertemu sel telur dan terjadi pembuahan untuk kemudian menghasilkan bayi. Saya juga menyangkal ketakutan teman-teman perempuan bahwa cipokan dan pembalut bekas yang dilangkahi laki-laki bisa menyebabkan kehamilan. Nggak ada yang bisa menyanggah saya karena semua teman sekelas nggak ada yang tahu informasi tersebut. Dan saya merasa hebat! Haha! 

Tapi jaman saya kecil ya beda lah dengan jaman sekarang. Google saya hanya ibu, sementara hari gini bahkan mencontek saat ujian pun bisa dilakukan menggunakan teknologi internet. Tapi mengapa pendidikan seksual di masa sekarang masih sama gelapnya seperti ketika saya kecil dulu? 

Sekarang saya mau lompat ke saat saya dibuang ke Jogja, tempat saya menonton film paling horror dan jauh lebih horror daripada yang sering di-twit-kan @jonitengik. Dan itu adalah sekali-sekalinya saya mendapatkan pendidikan seksual di institusi sekolah. Saya nggak tahu apa judulnya, tapi yang saya bisa pastikan, semua pemainnya seperti ditarik dari masa John Lennon masih hidup. 

Awalnya kami dikasih yang asyik-asyik: posisi-posisi bercinta. Kami cekikikan dong. Namanya juga nonton hal yang biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi kaaan… Lalu narrator berbahasa Inggris dan bersuara berat tapi kaku itu menjelaskan tata cara menggunakan pengaman. Kami masih cekikikan. Sampai adegan aborsi. Kami diam nggak bergerak. Beberapa duduk terpaku, malah ada suara mengisak di samping saya. Itu benar-benar horror. 

Jadi, pelaksanaan aborsi pada kehamilan trimester ketiga itu brutal. Ada alat yang masuk ke dalam vagina yang fungsinya untuk mencacah janin. Lalu janin yang hancur tersebut akan ditarik. Yang paling besar dan paling terakhir dikeluarkan adalah kepala, dan para dokter itu menamakannya “The Number One”. 

Tapi ada satu hal dari adegan horror tersebut yang paling bikin mata saya terpaku menatap layar. Ketika alat pencacah janin tersebut masuk, si janin menarik-narik anggota tubuhnya menjauh. Sepertinya dia tahu bahwa perabot operasi itu mengancam nyawanya. Dan itu menyadarkan saya bahwa kehidupan berawal jauh lebih dini daripada sekadar kelahiran. 

Balik lagi ke masa sekarang, tahun 2013 di penghujung Januari, setelah hampir dua minggu bokong saya ada di Bali (iya, ini pamer. Nggak usah protes). Di tengah terbongkarnya kasus gratifikasi busuk Partai Kelamin Somplak, salah satu teman saya menyatakan kegelisahannya tentang betapa minim pengetahuan seksual yang diberikan pada anak-anak dibawah umur. Dia nggak setuju razia ponsel di sekolah-sekolah dan mempermalukan mereka yang ketahuan menyimpan konten dewasa dalam memory gadget, mempersidangkan mereka di ruang BK lalu memanggil wali murid yang berpuncak pada murka akibat menganggap perbuatan itu sangatlah kotor tak bermoral. Padahal, sebagaimana yang saya ketikkan di judul, kita semua terlahir dari perbuatan tidak bermoral tersebut. 

Terus, gimana dong?


Syahdan menurut konon dongeng orang-orang Kaukasia, bayi diantarkan burung bangau. Jadi ya gitu deh. Gambar dari... kan alamat situsnya ada di gambar.


Ya saya sih kepingin sekali ada kurikulum yang mengajarkan hal paling sederhana yang bahkan seringkali luput dari perhatian kita, orang-orang dewasa berjembut banyak: kesehatan organ reproduksi, informasi pencegahan kehamilan tidak diinginkan, dan yang paling penting adalah menghormati kelamin sendiri dan kelamin orang lain dengan tidak menjadikannya olok-olok dan tidak menjadikannya “senjata” memerawani pacar. Sekolah bisa bikin kelas terpisah, lelaki dan perempuan. Jembrengin deh di situ semua hal ilmiah yang perlu diketahui seputar selangkangan tanpa ada rasa risih ataupun malu. Kalau perlu “doktrin” mereka untuk tidak melakukan eksperimen seputar organ reproduksi selama duit masih nodong orang tua dan tidur masih seatap dengan mereka. Bikin anak-anak unyu dan polos tersebut—yang memiliki rasa ingin tahu lebih banyak daripada seluruh komposisi air di planet Bumi—mengerti bahwa kematangan kelamin harus seiring sejalan dengan kematangan emosi. Gambaran besar saya sih kalau bocah-bocah itu dibegitukan maka angka pelecehan seksual pada perempuan dan tindak perkosaan akan lumayan turun karena sejak dini mereka dibekali pengetahuan tentang perangkat paling intim yang melekat dalam badan sendiri. 

Tapi ya… gimana ya? Di negara yang Menkominfonya saja merasa jadi penjaga moral, yang untuk masuk sekolah saja ada wacana tes keperawanan dan korban perkosaan malah disalahkan melalui cara mereka berpakaian, dan bahkan kepala sekolah melarang siswi yang hamil karena diperkosa untuk ikut Ujian Nasional, saya mau berharap apa? 

Ada saran?    



Catatan 2: Achievement, Anyone?

$
0
0

Friendship is like Darwin’s theory, anyway. It sorts out, adapts, evolves. And only the fittest survives.


Halo, Pit! Apa kabar?

Halo juga, Mas! Kabar baik… masih gendut. Haha! (tertawa getir)

Kalo itu sih nasib, Pit. Udah nggak bisa diubah. Suratan takdir! (tepuk-tepuk punggung) Oke… jadi, kita wawancara kan?

Emang gue punya pilihan lain? (muka memelas)

Ya udah. Pertanyaan pertama: umur segini, pencapaian lu apa?

Buset! Langsung digertak gini gue! Haha! Pertanyaan lu nggak ada yang lebih gampang?!

Udah, jawab aja…

Ummm… (elus-elus dagu) Kalo untuk diri sendiri, gue bisa bilang kalo hidup gue tercukupkan. Pencapaian gue udah puncak, setidaknya untuk sekarang. Gue punya keluarga kandung yang—meskipun nggak sempurna—lumayan bahagia, berkecukupan meskipun hanya buat diri sendiri, dan masih bisa berbagi meski sedikit. Gue punya tempat nongkrong nyaman dan keluarga sambung meskipun di tempat baru, yaitu orang-orang yang bisa gue sebut teman. Mereka baik, bahkan sampe ada yang mau bayarin tiket pesawat Jakarta-Denpasar. Walaupun hampir nggak berduit, gue bisa hidup dengan nilai yang gue anut, tanpa paksaan, tanpa tekanan. Ya paling kalo pas lagi ada tenggat kerjaan doang deh gue tertekan. Tapi all in all, gue bahagia. Gue rasa itu udah menjawab semuanya. Pencapaian puncak banget tuh. Susah lho, jadi orang bahagia. Kebanyakan mesti punya syarat dan ketentuan berlaku. Macem promo provider telko.

Lalu kenapa Bali? Mau ngapain di sini?

Kenapa tidak? Lagian, dapet tiketnya ke Bali. Kalo ada yang ngasih tiket ke Swedia juga gue bakal di sana, ngedonlot torrent ampe bego di markas TPB, kenalan sama bule-bule ganteng-tapi-gila, dan nggak bakal ngeladenin orang iseng wawancara kayak elu.

Terus… Gue di sini mau ngapain ya? Nggak tau. Tapi yang pasti sih bersenang-senang cari petualangan.

Define “bersenang-senang”.

Apapun gue anggap bersenang-senang kok. Termasuk kerjaan. Kalo nggak seneng kan nggak gue kerjain. Walaupun masih ada sisi ngeselinnya sih. Biasanya kerjaan yang ada duitnya. Anggap aja gue kacung, dibayar majikan. Kalo majikan minta apapun ya harus gue turutin kan? Namanya juga dia yang bayar gue, dan gue butuh duit. Simple. Sama lah ama kerjaan gue. Nggak nulis, nggak nerjemahin. Ya begitu itu intinya. Tapi gue kan penyembah invoice yang kaffah. Jadinya, semua hal-hal yang ngeselin akan hilang seiring invoice cair. Itu aja.

Terus, selama di sini udah ada yang cair?

Oh, itu rahasia perusahaan… (nyengir jumawa) Tapi kemarenan gue dapet tawaran bantuin om heker keren. Gue udah tau dia jaman dia masih jaga warnet di Jogja. Gara-garanya abang-abangan gue ribut ama bininya dan gue disuruh nemenin nemuin om keren ini. Nggak tau deh, mau curhat atau pinjem duit. Haha! Dan karena gue masih cupu, imut, dan gampang terbujuk, kami jalan deh tuh berdua malem-malem menelusuri Gejayan. Dan waktu itu si om belom keren, masih superdekil dan kucel dan berkantong mata hasil begadang berhari-hari. Rada nyesel juga sih. Kirain bakal ada vitamin A, liat yang ganteng-ganteng. Dan gue nggak nyangka, sekarang om dekil itu namanya udah berkibar dimana-mana. Terus mak bedunduk ujug-ujug aja gitu beberapa hari lalu dia nelpon, nawarin gue masuk timnya yang berisi orang-orang klotokan. Meskipun kerjaan nggak berbayar, buat gue ini BEYOND bersenang-senang! Bayangkan! Gue bakal kerja bareng sama THE legend!

(Muka bosan) Oke. Pertanyaan selanjutnya. Udah ngalamin apa aja yang seru-seru di Bali?

Wah, buwanyak! Sekarang you shut the fuck up and listen, Mas. Gue mau cerita.

Jadi tuh pas gue nyampe Bali gue terpana dong. Betapa di Pulau Dewata yang indah-berseri-mewangi-sepanjang-hari—LITERALLY!—ini NGGAK ADA ANGKOT! Buset… gue nggak ngebayang gimana gue bakal gahol ngecengin bli-bli Bali yang mendadak ganteng kalo lagi pada metirta di Banjar pake putih-putih. Berapa hari kemudian temen gue dateng, ceritanya kunjungan balasan karena pas dia kawinan gue dateng kondangan. Terus gue meratap-ratap kayak Iis Dahlia ngedangdut di video klipnya gitu, tentang betapa suramnya hidup kalo gue nggak bisa kemana-mana dan duit pun nggak seberapa. Nggak mungkin juga kan tiap hari ngojek atau naksi mulu.

Terus, temen gue nawarin buat nyariin sewaan motor ke temennya. Maksudnya sih biar lebih murah dan reliable. Beberapa hari kemudian dateng lah si temen gue itu bareng temennya, bawa dua motor. Satunya motor keren—warnanya merah-item—dan satu Supra bapuk. Oh, temennya itu mirip simpatisan FPI. Atau debt collector ya? Ya itu lah, sebelas-duabelas.

Terus, gue sadar diri dong… langsung ke ATM, ambil duit dan bayar. Gopek aja gitu bilangnya. Dan instead motor yang warnanya gue banget itu, gue dikasih lah kunci kontak The Bapuk! Dalem hati gue bilang, “man… kalo motornya butut gini mah mending gue nyicil sendiri aja. Bayar pake jembut juga nggak papa lah.” Tapi ya secara kan gue anaknya baik budi dan halus tutur bahasa. Gue cuma cengar-cengir miris. Gue tanyain dong, ini motor masalahnya apa. Dijawab, motornya sehat. Padahal speedometer aja nggak jalan. Hihi. Ya udah, gue pikir nggak penting lah. Toh speedometer jalan juga gue masih kalah ama angin sawah. Dan mereka pergi dengan wajah sumringah. Sementara hati gue patah mengingat lima lembar duit plastik kemerahan cuma numpang lewat doang.

Dua hari kemudian gue dapet temen nge-date. Tapi sepertinya alam semesta tidak mengizinkan gue hepi-hepi. Jadi aja di perjalanan ujannya kayak ada malaikat yang jumlahnya sepopulasi Cina kompakan niruin anak gahol Jakarta pulang dugem: jackpot nggak berenti. Gue sempet neduh dan nyasar, tapi motor nggak kenapa-kenapa. Sampe venue… (di sini drama dimulai!) KUNCI KONTAKNYA NGGAK ADA! Ternyata lubang kuncinya longgar, kuncinya jatuh entah di mana, and nobody told me that to anticipate that kinda shit. Untung temen nge-date gue yang brondong ganteng (tapi kecil dan pendek, hihi) itu udah dateng. Berbasah-basah, gue masuk kafe dan teriak-teriak panik. Dia sigap, matiin motor pake kontak motornya, dan bisa. Terus pas gue udah tenang dan setelah spaghetti menggoda iman di piringnya gue abisin, gue SMS lah Mas Debt Collector… eh, Mas Pemilik Motor—atau singkatnya kita sebut sebagai MPM. Gue jelasin secara terperinci dan paripurna sampe 3 halaman SMS tanpa singkatan dan sampe jempol gue kram. Dan lu tau jawabnya? “Cari tukang kunci aja”.

Fuck! Mau nyari tukang kunci di mana ujan-ujan jam 9 malem seberang sawah?! Bodat berkerak! Kalo gue nggak inget mesti behave depan mahluk ganteng, gue pasti udah nyap-nyap. Nggak lama si MPM nelpon. Gue tetep kalem dong, kayak di kolem. Gue bilang motornya diambil aja dan duit gue tolong dibalikin. Eh, langsung ditutup telponnya. Pas mau balik, kunci kontak penyelamat itu ndak bisa menghidupkan si Bapuk. Akhirnya dengan berat hati gue tinggal lah motor di halaman kafe dan minta mas waiter buat bawa tukang kunci besokannya. Dan gue deg-degan. Bukan karena harus ninggalin motor orang di halaman parkir semaleman sih, tapi karena pulangnya dianter si brondong. Hahay!

Malam berganti dan Mas Robin, waiter kafe yang kalo lagi off bantuin Batman si penumpas kejahatan pembela kebetulan, dateng bawa tukang kunci. Gue mesti bayar 40 rebu. Ya udah lah, nggak papa. Secara bawanya juga jauh. Tapi abis itu kan motor mau gue panasin, eeeh… gue selah ampe setengah jam, ampe kalori gue kebakar banyak, ampe kutang gue melonggar (oke, ini lebay) nggak bisa-bisa nyala, dong! Gue SMS lagi si MPM dengan proses penjelasan berulang dan jempol yang kembali kram. Jawabnya sekalimat doang: bawa ke bengkel aja.

Nyeeet! Nenek-nenek bungkuk bangkotan bau tanah setengah buta juga tau gituan doang mah! Gue males nanggepin. Untungnya salah satu temennya Mas Robin, Mbak Putri, adalah anak pemilik bengkel dan tau gimana ngakalin motor. Walhasil, Supra bapuk itu kembali menyala. Untung aja Mbak Putri sering liat para montir bekerja instead of dia kerja untuk Bangbros…

Di tengah kejadian itu temen gue yang merekomendasikan MPM from Hell nelpon, memohon agar gue mengusahakan motornya jalan lagi tanpa minta duit gue balik karena emang udah abis, nggak ada yang bisa dibalikin. Gue nggak tau lah mereka berdua punya kebutuhan apa sampe bisa ngabisin duit gopek cuma dalam dua hari. Tapi mungkin gue yang lajang jalang ini nggak bisa memahami kebutuhan para bapak muda beranak satu. Jadi ya, dengan semangat bantuin temen, gue menghela napas berat lalu pulang.

Besoknya gue kaget terbangun karena ada telpon. Si MPM, nanya motornya gimana. Setelah gue jelasin dengan suara cengar-cengir karena tiga per empat nyawa gue masih jalan-jalan, dia nyerocos: “Itu motor saya pake bertaun-taun nggak pernah kenapa-kenapa. Jangan cerewet ya jadi orang!” lalu telpon dimatikan.

Reaksi pertama gue? Ketawa! Gila tuh orang ya, berasa nggak punya dosa banget ngomong gitu. Udah gue bayar tapi nggak ada tanggungjawabnya. Tapi nggak tau ya, gue mendadak moda males-nyari-ribut 24/7 selama di Bali sini. Mungkin karena tiap hari suasananya santai akibat rumah yang gue tempatin menghadap sawah yang kalo malem bintangnya deket dan banyak banget tinggal dipetikin kayak bulu ketek. Atau mungkin juga karena tiap hari di sini gue maen sama monster gundul-gendut kecil dan lucu yang kalo tantrum teu pararuguh tapi kalo senyum dan nyolong cium bikin hati meleleh. Awalnya gue udah niat mau ngerobek ban atau menggadaikan STNK pas MPM dateng ngambil motor. Jadi, instead of STNK, gue kasih aja resi Pegadaian buat dia tebus. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi ya buat apa? Balas dendam? Duh, gue udah nggak maen gituan lagi.

Sekarang sih gue mikirnya orang-orang yang nggak punya alasan tapi melakukan hal-hal jahat ke orang lain itu hidupnya nggak bahagia. Mungkin di Diagram Maslow kotak eksistensinya nggak terpenuhi. Atau masa kecilnya nggak menyenangkan, jadi korban bully yang nggak bisa ngebales dan nggak ada yang belain. Makanya pas udah tua modelnya jadi SOS gitu. Seneng liat Orang Susah. Terpuaskan kalo ada orang yang ngerasain ketidakberdayaan yang sempat dia rasain. Menyedihkan sih kalo kata gue. Terus, orang yang kayak gitu mesti kita limpahin pembalasan dendam? Nggak level lah. Ngak fair juga. Idupnya aja udah blangsak, ngapain dibikin tambah susah lagi? Nggak bakal selesai. Ngeliat gue masih bisa ketawa-ketawa aja mungkin jadi siksaan buat dia karena gue nggak goyang dizolimi. Dan dia nggak bahagia aja sebenernya udah kutukan seumur hidup. Dia harus jalanin itu sampe mati, tanpa bisa ngelés atau absen, tanpa ada seneng-senengnya. Kecuali dia bisa belajar dan berubah.

Tapi aftermatch-nya itu lucu. Semua orang yang gue ceritain dan kenal gue lama pada heran karena gue cuma ketawa-ketawa instead of bikin skema jahat yang feasible. Mereka pikir gue berubah mendewasa dan bijaksana-sini-sono-situ. Itu another achievement juga buat gue. Mereka nggak tau aja kalo gue sedang menerapkan the art of war. Gue mengawasi, mengobservasi, mencatat. Dan gue nggak akan lupa. Si temen mungkin emang pas apes. Rekanan MPMnya cacat luar biasa di mata gue. Itu aja udah cukup bikin gue males urusan lagi sama dia. Udah lah, mulai saat itu temen gue hidupnya bakal damai deh, nggak bakal gue colek lagi.

(Menghembuskan napas) Fiuh! Beneran seru. Tapi udah dibalikin kan motornya?

Udah. Belom sebulan padahal, paling 2 minggu. Pulangnya, si MPM gue kasih goodie-bag karena monster kecil abis ulangtahun. Abis itu dia lempeng, cuma bilang “minta maaf ya”. Tapi duit gue juga nggak balik. Haha! Ya gue juga nggak minta balik sih. Mungkin dia lebih perlu. Kerjaannya paling apa sih, pegawai rendahan doang. Gajinya juga paling nggak seberapa lah dengan otak seculas itu dan kelakuan sekatro itu. Maklumin aja. Haha.

Wah… nggak nyangka. Ternyata elu baik juga, Pit!

Huahahahaha! Ide gila dari mana itu?! Karena gue ngasih goodie-bag? Huahahaha! Bukan baik, ituuu! It’s just something I had to do. Kotakannya banyak. Si Mama Monster salah ngitung. Meskipun isinya cuma cemilan bocah semacam biskuit, susu fermentasi, permen, dan sebangsanya, they had to go. Menuh-menuhin tempat doang. It was NOT—I repeat—NOT an act out of compassion. It was merely an act out of needs.

Oke. Masuk akal. Terus lu kapok nggak Pit, meeting new people, making friends?

Nggak. Sama sekali. Apalagi di sini, tempat baru, petualangan baru, hidup baru—semoga, kalo gue nggak keabisan duit duluan. Hihi. Gue perlu ketemu orang-orang baru, kenalin karakternya lagi, kenalin kebiasaannya, budayanya. Adaptasi. Gampang-gampang susah, tapi bukan nggak mungkin. Cuma sekarang gue lebih hati-hati sih. Seriously don’t hope, don’t expect, and make the best out of my time. Yang paling penting mah buka mata-telinga-hati aja lebar-lebar. Dan gue selalu “mencatat.”

Seringnya orang nuduh gue milih-milih temen. Padahal temen yang milih gue. Dan sampe sekarang “kutukan” Mbak Rina, mpok-mpokan gue di Jogja yang kacamatanya sepantatbotol itu, masih terbukti: bahwa cuma orang dengan telinga dan hati baja yang mampu bener-bener temenan sama gue.

Maksudnya?

Gue tau reflek gue terlalu bagus. Meskipun gue baik budi dan halus bertutur, kadang otak gue nempel di lidah. Kalo ngomong sering nggak pake saringan. Kalo sebel, bilang; kalo seneng juga keliatan. Ekspresif. Sering jadi backlash ke gue tuh. Orang jadi tersinggung because of the things I said. Apalagi kalo ada orang curhat ke gue, disengaja atau nggak, gue solution-oriented. Gue selalu nyari jalan keluar. Padahal terkadang orang cuma perlu kuping. Terus kalo gue udah sempet ngasih solusi dan tuh orang balik lagi cerita masalah yang sama dalam waktu yang beda, gue sering jengah dan bilang “idup lu membosankan sekali, masalahnya itu-itu doang. Kreatif dikit lah. Dateng lagi ke gue kalo masalah lu udah ganti. Gue males same-shit-different-day gini.”

Ya gara-gara itu sih proses seleksi alam dan adaptasi bekerja. Yang nggak kuat mundur, yang kuat bertahan. Makanya gue bilang temenan itu udah pungkasnya pengejewantahan teori evolusi Darwin. Survival to the fittest. Tapi ini udah rada medingan. Gue udah nggak terlalu ambil pusing kalo orang-orang yang gue sebut temen itu mau ngapain.

Kayak kapan hari itu temen gue curhat, nanya baiknya gimana. Dia lagi ribut sama pacarnya. Gue bilang dia harus kasih jeda dulu sama dirinya sendiri dan pacarnya itu to make things clearer. Dan… voila! Beberapa menit berikutnya dia minta gue ngontak pacarnya karena dia senewen pesannya nggak berbalas. Gue males. Ini urusan mereka berdua, personal, kenapa juga gue dibawa-bawa? Toh mereka ngewe juga nggak ngajak gue. Ya gue juga nggak mau sih, threesome gitu.

Nah, hal-hal kayak gitu sekarang udah bisa gue redam. Gue nggak lagi ngomong frontal, tapi gue cek-cek ombak dulu. Kalo emang bisa difrontalin ya frontal. Kalo ada orang kalut kayak gitu ya gue baik-baik ngelésnya.

Tapi ya itu tadi sih: gue “mencatat”. Gue observe. Analisa dari semua hasil catatan dan observasi gue yang akan jadi output tindakan gue selanjutnya. Seperti yang gue bilang tadi, temen yang milih gue. Dan itu gampang banget. Sering aja kita nolakin hal-hal yang mereka minta tapi kita nggak suka. Mereka bakal minggir sendiri kok. Lagian, kalo emang temen, udah tau dong mana yang temennya suka dan mana yang nggak? Kalo masih belom tau juga ya… yakin lu temennya? Bukan orang yang manfaatin dia doang?

Nah! Itu pertanyaan selanjutnya! Sering dimanfaatin temen nggak?

Huahahaha! Nggak asik lu, Mas!

Tapi bukannya nggak bisa dijawab, kan? Jawab dong…

Ummm… (berpikir) Gampangnya gini: kita, manusia, hidup dari saling memanfaatkan. Jadi, kalo mereka merasa jumawa udah bisa manfaatin gue, mereka nggak tau aja kalo mereka juga udah gue manfaatin jadi spesimen penelitian gue.

Emang lu lagi neliti apa, Pit?

Human mind. It fascinates me. How people react, their inconsistency, their fear, pride, joy. Termasuk di dalamnya ya achievement itu, kayak yang lu tanyain.

Seperti yang pernah gue dapet hasil iseng browsing, Einstein bilang, two things are borderless: universe and human stupidity. Itu gue setuju banget. Tapi orang jadi bego penyebabnya ada dua hal. Pertama, mereka nggak mau cari tau. Kedua, mereka emang nggak tau.

Nah, yang tipe kedua ini juga tergantung orangnya. Kalo rasa penasarannya cukup tinggi, ada celah sedikiiit aja buat cari tau dan dia mau, ya nantinya diharapkan bakal nggak bego lagi. Karena akhirnya tau. Untuk itu diperlukan kerendahan hati. Soalnya, dari pengalaman gue sendiri, kalo gue nggak merendah, nggak buka semua pintu untuk berbagai kemungkinan yang gue sendiri nggak kebayang, gue akan susah nerima informasi atau pengetahuan baru. Kalo sotoy ya wasalam aja, jadi orang bego tipe satu. Sering ngeselin tuh. Karena keras kepala, keukeuh sama pengetahuan yang dia anggap benar. Nggak mau dengar orang bilang apa. Nah, antara ngeselin dan bego, kalo salah satu masih bisa termaafkan lah sama umat manusia. Tapi kalo udah ngeselin terus bego, mau jadi apa lu?!

Gue sendiri jauuuh dari rendah hati. Orang yang nggak kenal gue juga pada tau kalo gue belagu. Tapi kalo menurut gue pendapat gue bener, ya gue klotokan juga, kepala batu. Tapi kalo gue bener nggak berarti orang lain salah juga kan? Gue di situ. Nggak rendah hati tapi nerimaan. Biar cepet selesai aja sih sebenernya. Hihi.

Terus, dapet pengetahuan apa dari penelitian lu itu?

Ya banyak. Gue jadiin database aja. Salah satunya adalah: keinginan bikin lu nggak bahagia dan bodoh. Ini pembuktian dari komik Buddha yang sempet gue baca pas nginep di rumah mbak cantik dan baik yang guguknya unyu. Soalnya ketika lu menginginkan sesuatu, mata lu ketutup dari hal-hal yang udah lu dapetin. Menginginkan sesuatu bukan hal yang jelek juga sih. Itu justru harus, buat ngetes nyali dan kemampuan. Tapi yang jadi masalah adalah ketika lu nggak tau kapan harus berenti berkeinginan, kapan harus nerima “kekalahan” ketika keinginan itu nggak bisa lu dapetin—ketika pencapaian lu kandas. Man, that sucks. Been there, done that. Tapi karena udah ngalamin itu juga kali ya, mungkin gue set up standar terlalu rendah. Jadi keliatan santai, nggak punya ambisi, cengar-cengir doang. Nyokap gue aja ampe geregetan. Haha!

Satu hal lain yang bisa gue manfaatin dari teman-teman gue adalah reaksi mereka. Orang akan jadi dirinya sendiri saat berada di titik rendah—marah, kecewa, putus asa, bokek—yang terakhir itu gue. Hehe. Kadang gue iseng, gue yang provokasi. Gimana reaksi mereka itu yang gue perhatiin, buat ngerespon kalo besok-besok mereka dateng ke gue dengan muka kusut. Biar gue tau mesti nanggepin kayak gimana.

Sejauh ini lu cerita tentang temen lu. Entah beneran atau fiktif, gue nggak tau. Tapi anggaplah cerita itu bener, dan temen lu baca. Gimana tuh?

Ya lempeng aja, Mas. Gue nggak nyebut nama, nggak ngejelekin mereka juga. I was merely stating the fact. Gue cerita pengalaman gue dan reaksi gue doang. Kalo ada yang komentar dan tersinggung, well… that person did not comprehend this post, factually. Kalo mereka tersinggung, gue juga nggak bisa ngelarang. Anggaplah seleksi alam sedang bekerja. Gue cuma belajar jujur sama diri sendiri dan sama mereka. Gue kesel, iya. That’s the brutal truth. Tapi gue nggak marah. Wong udah kejadian. Cukstaw lah. Ini juga buat pelajaran ke gue kalo ujung-ujungnya, segimanapun dan seberapapun banyaknya temen, gue tetep harus usaha sendiri. Hari gini berani bukan karena benar, Mas. Tapi karena nggak ada yang harus dipertaruhkan. Takut juga bukan karena salah. Tapi karena ngerasa nggak enak. Padahal beberapa orang yang gue tau ngakunya nggak enakan itu justru sembarangan, melakukan hal-hal yang justru bikin orang merasa nggak nyaman. Hal-hal kecil yang mungkin sepele tapi kesannya jadi nyepelein: maenan hp pas lagi diajak ngobrol, misalnya.

Buat gue, manusia itu seperti pasir yang lu genggam. Makin kenceng genggaman lu, makin banyak yang lolos. Makin lu bergantung sama orang, makin orang nggak nyaman, makin mereka menjauh. Jadi ya di-los-in aja. Mau tinggal, sukur. Mau pergi juga gue nggak masalah.

Sepakat. Dan kayaknya udah cukup bahan nih. Udahan ya wawancaranya. Terima kasih, lho…

Oke. Gue juga mau tidur. Capek ternyata ya, mengingat-ingat. Hihi.

Lu baek-baek dalem kepala gue. Nggak usah menimbulkan pertanyaan yang nggak-nggak lagi!


... thus the curtain rings down... 



Parenting, Redefined

$
0
0
Bagian punggung salah satu kaos oblong yang saya punya, desain oleh Kakak Ping Setiadi. Sila kontak dengan klik link tersebut jika berminat.


Orang tua terkadang lupa bahwa mereka juga sempat menjadi anak.

Entri ini diketik beberapa jam setelah saya SMS-an sama Babab, barengan Galagher bersaudara yang lamat terdengar namun terkalahkan desing angin Kesanga lewat tengah malam di pelosok Bali. Iya, si Babab, bapak saya itu, mak bedunduk ujug-ujug tanya kabar apakah saya baik-baik saja. Padahal biasanya iseng SMS cuma laporan ada kerabat atau tetangga meninggal, atau sedikit bergosip kalau dia sedang motret nikahan siapa gitu. Atau mungkin itu pertanyaan titipan dari Bu Anggi yang suka belagu nggak mau berkabar duluan. Hihi.

Ibu dan Babab itu pasangan ortu unik. Mereka terkadang sering jaim karena hubungan kami dibilang jauh ya dekat, dibilang dekat ya nggak begitu juga. Tapi mungkin memang begitu ya hubungan ortu-anak yang sudah bersama puluhan tahun dengan bocah-bocah yang mendadak membangkot (tapi nggak kawin-kawin =P). Mereka sudah los aja, mempercayakan semua pada kebaikan semesta—yang nyatanya juga nggak baik-baik amat—dan nggak mikir lagi anaknya mau jadi apa, apalagi yang modelnya kayak saya. Udah bisa idup sendiri nggak ngerepotin aja mungkin udah sujud syukur tuh Bu Anggi.

Tapi ini jauuuh banget bedanya sama adik saya, si Cipret. Ketika masih SMU, dia gondok luar biasa waktu dilarang Ibu ke mall bersama teman-temannya. “Nunggu kakakmu pulang kalo mau kemana-mana,” titah Ibu. Padahal saya sedang “dibuang” ke Jogja dan nggak serumah. Pulang pun kalau ingat. Lalu dia sempat sekamar di kost waktu saya memburuh di Jakarta dan tempat kerjanya lumayan dekat dari tempat saya tidur. Bertahan sebulan karena, “aku maunya pulang tuh makanan ada di meja, tinggal mangap, nggak perlu nyari ke luar. Kayak di rumah.” Bitch, please…

Tapi sejak kecil si Cipret itu sudah seperti anak saya sendiri karena saya yang ajak dia main jika Ibu harus beberes rumah dan masak. Beda usia kami lumayan jauh. Dia sering menangis saat saya olok-olok bahwa hadirnya di dunia adalah akibat bocoran kondom meskipun dia nggak tahu apa maksudnya. Tapi dia tetap manut sama saya. Termasuk ketika dia manut menjilat setelapak tangan bubuk putih yang biasa dipakai Ibu bikin kue karena saya iming-imingi bahwa vanilla itu rasanya manis. Saya juga yang ajarin dia bandel supaya bisa main sepulang sekolah tanpa harus kena marah Ibu. Saya pun jadi tempatnya cerita kalau dia sedang suka-sukaan sama cowok (dan masih juga jomblo seperti mbaknya, sampai sekarang). Saya juga yang “mencekokinya” dengan Saman-Larung, Tetralogi Buru dan Trilogi Bartimaeus. Untungnya dia suka dan lumayan melek literatur diantara teman-temannya yang lain. Masa-masa bocah seusianya masih suka nonton Tralala-Trilili-nya Agmon, saya jejali dia dengan Mr. Big, Nirvana, Manhattan Transfer, RHCP dan Van Halen. Dia pun menemani saya deg-degan pertama kali ikut festival di Ancol dan harus bersaing dengan mas-mas hebat-hebat dan gondrong-gondrong yang ikutan goyang waktu saya gagaokan bawa Green Tinted 60’s Mine.

Dan saya masih sering terkaget-kaget menyadari pertumbuhan adik saya yang dulu kurus berambut merah seperti anak kurang gizi dan terlalu lama main layangan hingga sekarang jadi mbak-mbak CSO salah satu bank terkemuka di Indonesia. Apalagi mendengar dia bercerita bagaimana dia harus menangani keluhan. Di situ baru saya percaya bahwa adik saya memang mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang, bukan sekadar mahluk unyu yang bisa dijadikan objek bully atau ketawa-ketawa kalau tuasnya diputar.

Tapi yang lebih membuat saya kaget lagi adalah komentar Ibu waktu saya memintanya untuk nggak ngelarang-larang Cipret dan menaruh kepercayaan sebesar dia mempercayakan saya.

“Cipret itu beda sama kamu. Dia nggak bisa seberani kamu yang hajar sana-sini buat dapetin yang kamu mau. Makanya kamu yang harus kuat. Makanya kamu Ibu ajarin berani. Karena kalau nanti Ibu dan Babab kenapa-kenapa, dia jadi tanggung jawab kamu.”

Saya sendiri masih ingat bagaimana mencelos hati kami sekeluarga di malam menunggu si “bayi”, bungsu di keluarga, pulang pada hari pertama dia bekerja di restoran keren dan mehel benget. Betapa jantung kami remuk melihat bilur-bilur di tumitnya akibat sepatu hitam seragam yang kulitnya masih kaku, membayangkan dia harus berdiri berjam-jam dalam kondisi seperti itu, berwajah lelah, dengan air mata bergulir di pipi nyempluk sambil berkata lirih, “kerja tuh capek ya…” Kalau saya nggak pelototin, Ibu mungkin akan buru-buru mendekap bocah bongsor yang lebih tinggi dari saya lalu menghujaninya ciuman. Alih-alih, dia hanya mengacau puncak kepala si Cipret. Untungnya.

Saya kenal betul bagaimana ajaibnya “hard love” karena saya besar dengan hal seperti itu. Buat saya dan tetangga, akan sangat kejam menyuruh anak kelas 2 SD untuk mengepel dan menyapu rumah setiap hari, mencuci pakaian dengan tangan, dan berbagai tugas domestik yang bisa dialihdayakan dengan mudah ke tangan si Bibik. Tapi tidak untuk Bu Anggi. Masalahnya, pertama, kami nggak pernah punya ART. Kedua, Ibu sudah cukup repot mengurus hal lain. Dan terbukti, semua hal-hal “kejam” itu berguna banget untuk bikin saya bertahan dan bersenang-senang dilepas sendiri jauh dari keluarga.

Saya juga dihajar—bukan diajar—untuk selalu menjejak bumi namun tetap mengupayakan terjadinya hal-hal yang saya inginkan. Misalnya, ngojek payung untuk beli perabotan lomba upacara karena kenyataan yang tertera pada slip gaji Babab nggak bisa mewujudkan keinginan saya. Atau ngajarin anak orang dan jadi kalong di warnet agar masih bisa jalan-jalan, supaya hidup saya nggak melulu jadi kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang).

Dan apakah saya bahagia dengan orang tua yang lumayan visioner dan demokratis seperti itu? Nggak juga. Hey, saya manusia! =P

Beberapa minggu sebelum saya gotong-gotong kulkas dua pintu melintasi Soetta menuju Ngurah Rai, Ibu dan saya sempat bertengkar hebat. Sebenarnya sih sepele, tentang jadi apa saya nanti. Seiring waktu, manusia berubah. Dan Ibu juga nggak sebegitu saktinya untuk lepas dari siklus tersebut. Saya yang terlalu naïf menganggapnya masih memegang nilai-nilai yang sama seperti yang dipegangnya semasa muda. Dia inginkan saya berpenghasilan tetap dan bisa punya muka menghadapi orang-orang yang merasa jadi perwakilan petugas kelurahan untuk bertanya “kamu kerja di mana?” Mungkin remeh, tapi saya nggak bisa lagi berlama-lama “melacur” di pabrik berkedok kantor korporat atau agensi atau apapun lah yang mengharuskan saya duduk diam dan tersenyum dan membuat orang lain senang—terutama atasan—delapan jam sehari, lima atau enam hari seminggu (meskipun sekarang saya bakal lindas ego dan “melacur” lagi di tempat pantat saya berada ini demi babat alas). Bagi ibu saya, seperti itulah bahagia, dalam keadaan aman secara finansial dan nyaman secara posisi sosial. Tapi Ibu—dan saya—seringkali lupa bahwa kami punya standar bahagia yang nggak sama. Kami juga seringkali lupa bahwa doa pertama Ibu sebagai orang tua hanya menginginkan anaknya bahagia, sementara harapan anak adalah membuat orangtuanya bahagia—sebelum semuanya terlambat. Begitu sederhana, namun begitu sulit.

Suatu kali sempat pada sebuah perbincangan Ibu sambat. “Ya namanya juga orang tua. Sebisa mungkin nggak ngalamin susah seperti orangtuanya. Mendingan orangtuanya aja yang berdarah-darah, nanti biar anaknya yang leha-leha.”

Tapi, Bu… apa itu nggak bikin anak berdarah-darah nantinya ketika dia menua nggak biasa ngadepin susah? Lalu buat apa semua pendidikan hidup yang sempat dihajarkan—bukan diajar—pada semua anak kalau masih ketakutan pada apa yang menghadang di belokan depan? Dan jika kemudahan yang ada di benak ternyata mewujud pada kesulitan bertahan dan belajar kemudian, bukankah itu juga kelalaian dan pengabaian? Dan satu pertanyaan besar untuk semua ibu-ibu di dunia yang merasa sebangkotan apapun, anak adalah anak, tanggungjawabnya, BEBAN hidupnya yang mungkin nggak mau dirasakan, nggak tega mengutarakan, namun menggedor-gedor nurani manusia terdalam:

buat apa melepas ketika tetap harus menggenggam?

Dan saya sebagai anak, sebagaimanapun mbalelonya, sebengal apapun, sekacrut apapun, akan tetap merindukan orang tua—Ibu, terutama, karena rahimnya adalah rumah pertama saya—untuk sekadar ngobrol sambil sesekali menyesap teh manis panas di ruang makan sebagai dua orang perempuan dewasa, berbagi hidup dan kisah, berbagi peristiwa dalam derai tawa panjang, berbagi waktu yang tidak lama.

Namun seperti yang saya sering alami, bahwa semesta tak melulu baik, tak selamanya ramah. Akan ada “korban” berjatuhan demi keseimbangan. Termasuk anakmu, Bu. Karena kita semua nggak ada yang istimewa di muka bumi, kecuali para bigot. Dan jika masa itu datang, Bu, legowolah. Ikhlas dan percayakanlah semuanya pada kemampuan anakmu menyerap pelajaran dari pengalaman-pengalamanmu dulu yang sering kau ceritakan. Biarkan saya—kami, seluruh manusia yang sempat jadi kanak-kanak dan punya orang tua (kelewat) baik—berjalan atau bahkan berlari, karena semua hanya harus dihadapi. Termasuk membiarkan kami jatuh dan terluka, sebagaimana dulu kami belajar naik sepeda. Jangan buai kami dengan pertolongan dan kata-kata penghiburan, karena kami akan merindukan hal itu ketika kalian, para orang tua, tak lagi ada untuk kami. Kehilangan sesuatu yang nikmat dan indahnya pernah dikecap itu jauh lebih menyakitkan ketimbang belum sempat merasakannya sama sekali.

Namun jika kalian memaksa ingin berbuat sesuatu untuk kami, hanya satu yang akan membuat kami luarbiasa lega dan bahagia: terima kami ketika pertempuran kami selesai. Izinkan kami kembali menyesap kehangatan rumah tempat pulang, tanpa penghakiman, tanpa I-told-you dan sebangsanya, sebelum kami berangkat lagi ke kancah pertempuran maha hebat bernama kehidupan.

Karena setinggi-tingginya ranting menggapai awan, ia tak pernah melupakan akar.


Catatan 3: About A Place

$
0
0



Sometimes you want to go where everybody knows your name
- Lagu pembuka serial Cheers yang jaman kecil dulu sering saya tonton

Pernah dejavu? Berasa kayak udah pernah ngalamin kejadian yang pas saat itu dialami? Selama di Bali sini ya saya kayak dejavu gitu. Berasa nggak kemana-mana, padahal udah nyebrang laut dan pindah pulau.

Kok bisa, Pit?

Jadi gini…

(Siap-siap. Akan selalu ada cerita panjang setelah “jadi gini…”)

Tumpukan bata merah itu perapian tempat bakar pizza karena sebelum jadi kedai kopi tempat ini sempat jadi kedai pizza. Kasihan pizza. Dia pasti berdosa sekali sampai dibakar seperti itu...

Tahu kan kalo sejak Januari pantat saya ada di Bali? Nah, beberapa hari setelah puas gegulingan sama bocah monster gundul-gendut-unyu, anaknya ibu asuh saya nan seksi dan baik hati, seorang mbak baik yang sudah duluan “buka jalur” di sini ngajak saya ke satu kedai kopi. Namanya Kopi Kultur, gampangnya ya KK. Dia langsung ngenalin saya ke semua orang yang ada di sana, mengaku sebagai pengungsi banjir dari Jakarta yang menyelamatkan diri ke Pulau Dewata. Saking buwanyaknya orang, saya cuma ingat mas kucel bermata panda dan berambut agak gondrong yang hampir putih semua, mbak istrinya yang nampak seperti ibu beranak banyak dan berwajah khawatir, dan mas berkulit tato yang lengannya sebesar paha. Lalu ada om-om gondrong yang auranya berwibawa banget sampai saya bawaannya pengen cium tangan, dan bapak berkacamata nan bersahaja yang mirip dosen Structure saya dulu dan sama-sama beruban. Meskipun saat itu saya nggak bisa ingat namanya satu-persatu—kecuali kalau mereka pakai name tag—saya hanya ingat satu benang merah: semua orang berwajah ramah dan tersenyum tulus.

Begini bentuknya KK kalau dilihat dari depan kantor WOS.

Tempatnya nyaman banget. Di pojok kanan-kiri ada kursi-kursi kayu sebesar ambin dengan bantal guwedhe-guwedhe. Strukturnya dari bambu betung dan terbuka. Arsiteknya bernama Mas Kelik. Meskipun tidak melipur lara seperti pelawak Jogja, tapi rambutnya kriwul-kriwul mirip mie goreng yang sering dibikin ibu saya dan nyengirnya literally dari kuping ke kuping. Saya yang rada klaustrafobik sama sekali nggak berasa deg-degan di tempat itu. Ya paling masuk angin aja sih, dikit, kalau kebetulan anginnya lagi jahil dan saya lupa bawa sweater. Letak kedai ini di Jalan Pengubengan Kauh, di tengah desa, masih ada lapangan dan sawah meskipun seberangnya ada konveksi tapi kalau malam aduhai gelap-gulita dan banyak tawuran antar geng—kumpulan guguk beda banjar yang rebutan wilayah. Hihi. Saya nggak tahu ada apa dengan Bali, kenapa orang-orang suka sekali bikin tempat nongkrong dan restoran di tengah desa. Beda banget dengan Jakarta yang semua tempat nongkrong adanya di mall atau pusat keramaian. Kan saya yang susah, jadi betah, males pulang.

Dan rasanya sangat remeh jika menyebut KK sebagai sekadar kedai kopi. Sudah ada pertanda ini bakal jadi rumah saya kedua, tempat saya berangkat kemana-mana, terima tamu, atau janjian. Bantal dan kursi mirip ambin itu sebangun dan sebentuk dengan ruang tamu kedua saya di Radio Dalam—Bubur Karpet. Apalagi wifi-nya nggak pernah mati dan tempatnya nggak pernah dikunci meskipun dapur tutup jam sebelas malam. Terbukti, pertama kali ke situ saya dan mbak baik pulang jam dua pagi setelah lelah ngobrol di pojokan dan kehabisan bahan bergosip.

Mas Robin sedang menggiling kopi agar baik rasanya. Halah...

Karena sering ke sana saya jadi kenal dengan mbak dan mas penjaganya. Ada Mbak Rani yang masakannya jagoan dan bikin saya sendawa bahagia sehabis lelah ngembat sepiring nasi campur beras merah bikinannya. Ada Mbak Ratih dan Mbak Putri yang nggak tahu kenapa saya sering ketuker-tuker. Dan yang paling ganteng, karena lelaki sendiri, adalah Mas Robin yang nggak temenan sama Batman. Dan juga satpamnya, Gerry, guguk jantan hitam nan cuek yang sepertinya ada keturunan papillon dengan ujung ekor berwarna putih, tanda guguk alfa dan bandel. Dan sampai entri ini dibikin, saya sudah berkali-kali janjian di situ untuk pergi ke mana, rendezvous dengan teman yang duluan menetap di Bali dan bertemu “objek bully” impor dari Jakarta yang jadi turis Ingress.

Satpam KK neh! Satpam sih unyu begini... ((=

Iseng saya googling “Kopi Kultur”. Dan saya mendapatkan dua entri yang ditulis oleh orang Bali keren yang sedang hijrah ke Oz. Bapak yang mirip Pak Ar, dosen saya itu, ternyata namanya Pak Suar. Beliau adalah pemilik Wisnu Open Space atau WOS, tempat yang di pintu masuknya ada KK-nya. Beliau ini… keren banget deh! Pak Suar menyediakan lahan dengan mindset “green” sebenar-benarnya, top-to-bottom, nggak cuma lifestyle tapi juga ekonomi, dan difungsikan buat kepentingan ruang publik. Beberapa kali ada event di sana, mulai dari loka karya dengan penduduk asli Bali (yang waktu saya datang seperti sedang rapat desa karena semua orang berpakaian tradisional, ibu-ibu dan bapak-bapak, lengkap dengan kebaya dan udeng-udeng), sampai acara ulangtahun komunitas blogger gdubrak.com yang kerjasama dengan Kopi Kultur (dan MCnya berkali-kali menyebut “Terima kasih pada Pak Wisnu yang sudah menyediakan tempat…” padahal adanya Pak Suar, bukan Pak Wisnu. Hihi).

Dan om-om gondrong berwibawa itu namanya Pak Rai. Seumur hidup saya ketemu “dewa kopi” ya baru Pak Rai itu. Colek sedikiiit aja perihal kopi, langsung keluar ilmunya yang bikin saya ternganga-nganga kayak kalo ketiduran di bis. Nggak cuma kopi, Pak Rai ini seperti ensiklopedia berjalan untuk urusan tanaman. Penasaran sama nama salah satu tumbuhan yang kamu temui di jalan? Sebut saja ciri-cirinya. Nanti beliau akan kasih tahu kamu mulai dari kegunaannya untuk apa, tumbuh di mana, nama lokalnya apa, sampai nama latin. Semua kopi yang dijual di KK adalah hasil tangan dingin Pak Rai yang percaya bahwa industri kopi sudah seharusnya punya trickle down effect, nggak cuma diburu untuk nendang syaraf para urbanist tapi juga nendang buat ekonomi dan kehidupan petani kopi dengan proses tanam sampai roasting yang baik dan benar agar hasilnya menyehatkan. Dan Pak Rai ini selain juara banget racikan kopi dan minumannya, beliau juga jago masak! Sempat suatu malam waktu saya kurang ajar bergabung semeja, Pak Rai nawarin saya pisang goreng keju bikinannya. Nggak cuma itu, pisang itu juga dipotong-potong Pak Rai sampai kecil yang saya tinggal tunyuk pakai garpu lalu kunyah. Jadi kangen Babab… )=

Dan belakangan saya baru tahu bahwa mas guwedhe berlengan sepaha itu ternyata Jerinx, anggota band Superman Is Dead. Saya nggak nyangka aja orangnya ramah sekali. Kunci pandanganmu pada mukanya, dan kamu nggak bakal lihat tatonya kecuali senyum yang membuat wajahnya seperti diterangi neon. Dia itu jagoannya bawa tamu ke KK. Tukang bikin acara dan keributan. Kalau kedai sedang sepi, dia akan panggil teman-temannya buat bikin keramaian. Haha!

Lalu mas dan mbak suami istri itu? Nah, ini bagian paling menarik dan bikin saya dejavu.

Mas agak gondrong dan beruban itu namanya Kang Ayip, orang Sunda yang kelamaan di Bali. Beliau pendiri Matamera Communications, agensi yang bergerak di bidang desain, strategi dan branding. Kalo urusannya udah gambar-gambar desain, branding, dan acara-acara semacamnya, nggak usah banyak nanya lah kalo ke Kang Ayip mah. Saya ada nih daftar “keributan” keren yang dibikin sama Kang Ayip dan bala kurawanya. Beliau jebulnya juga teman baik Mas Danny Tumbelaka, mas-mas fotografer kawakan yang ramah dan botak dan dulu sering sekali bikin angkringan Langsat overtime karena kami asyik ngobrol. Dua hal yang plek sama dari Mas Danny dan Kang Ayip: mereka nggak pelit ilmu. Bawaannya ngajak diskusi, sekadar sharing atau bikin-bikin apaan kek yang feasible dan “kena”, tapi tetap cekikikan dan cela-celaan. Dan Kang Ayip ini pentolan di belakang Kopi Kultur yang bikin kedai ini jadi tempat kumpul-kumpul anak-anak muda kreatif Bali dan menggodoknya jadi creative hub. Idenya mirip banget sama Rumah Langsat, meskipun yang di sono ya sepertinya cuma saya doang yang membuatnya jadi creative hub karena tempat enak nebeng wifi buat mengais segenggam berlian ya di sana. Yang lain ngantor biasa.

Lalu mbak-mbak yang mukanya selalu kelihatan khawatir tapi funky? Itu Mbak Aty, alias Nyonya Ayip. Desainer interior/perhiasan/fashion. Gokil kan! Belom lagi coffee shop afficionado. Kalo kita paling pengen kopi ya karena pengen ngopi. Mbak Aty mah nggak. Kalo dia pengen ngopi, ya bikin coffee shop! CADAS, man! Belakangan, karena sering ngobrol dan cela-celaan juga—teuteup—saya jadi tahu apa yang mengakibatkan wajah beliau seperti itu. Meskipun anak kandungnya cuma satu dan masih kelas lima SD, anak angkatnya udah pada gede dan buwanyak buwanget! Ya itu, sekantor Matamera itu lah! Kalau Kang Ayip ceritanya jadi bapak berwibawa, Mbak Aty ini yang jadi ibu pengasih, dengerin curhatan dan ngomelin kalo mereka punya salah. Ya meskipun anggota Kelompencapir juga sih, Kelompok Pencela dan Pencibir kalo sedikiiit aja ada yang salah-salah kata.

Di KK nggak pernah sepi musik. Playlist dari iPod yang dicolok ke sound system ngumpet diantara bulatan bambu itu semua pilihannya Kang Ayip. Saya jadi ingat masa-masa begadang di Langsat bareng Paman Tyo. Selera mereka—dan saya juga sih *sigh*—tua, tapi gue banget. Britpop dan progrock mah ada lah. Dan kalau ada Mas Dicky, bosnya mbak baik, nggak pernah sepi juga dari celaan tapi juga sarat cerita-cerita pengalamannya jadi fasilitator di tempat-tempat terpencil. Sama kayak kalau saya ketemu Ndorokakung kalau beliau sedang bertandang ke Langsat. Dan Satrio, seniman muda dan gondrong yang rambutnya sering digelung cepol itu kalau di Langsat kayak Zam. Bikin saya common bullshit terus, bilangnya mau pulang tapi baru angkat pantat tiga atau empat jam kemudian.

See? Dejavu kan?

Terus, letak kopinya di mana, Pit? Sebentar…

Noh! Dipileh, dipileh...

Jadi, gara-gara saya tergoda Robusta-nya Kang Ayip di mug gendut dengan isi mengepul-ngepul, saya cobain lah. Enak, seperti Robusta pada umumnya. Terus teman saya yang gila kopi menyarankan saya coba Arabica. Lebih enak, dan saya lalu jatuh cinta. Tapi tahu nggak cinta terahir saya pada kopi tertambat di mana? Peaberry! Nah, ini saya nggak pernah tahu terbuat dari apa dan saya juga masih sungkan nanya ke Pak Rai. Tapi man… kalo kamu penasaran bagaimana rasanya syarafmu digampar nikmat oleh kafein, you should try this one. Makanya, dateng ke sini kalo mau nyobain. Hihi.

Tapi beneran, deh. Saya nggak tahu ini anugrah atau kutukan, karena kemanapun saya pergi, sudah melintas ribuan kilometer pun, saya masih berada di lingkungan yang sebentuk dan sebangun, masih bertemu orang-orang baik yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh saya, masih bisa tersandung di tempat asyik. Dulu saya selalu nyaman mengunjungi manusia, menyambung kembali komunikasi dan saling mengejar ketertinggalan, bertukar informasi tentang siapa sudah punya anak berapa atau saya sudah berbuat apa. Bukan mengunjungi tempat seperti pelancong pada umumnya. Tapi KK menyediakan semuanya: tempat nyaman, orang-orang bertangan dan hati terbuka, kopi sehangat penerimaan dan suasana sesegar wangi dupa di pura depan.

Maka nikmat Bali yang manakah yang akan kau dustakan…



Karena Memaksa adalah Kejahatan!

$
0
0


Video di atas itu aneh karena bisa bikin emosi saya campur-aduk sampai mirip muntahan kucing. Ya gimana nggak? Ide kampanye pencegahan perdagangan perempuan di Eropa terjewantahkan dengan teramat sangat keren di situ. Tapi menit ke-1.24 saya hampir menangis. Miris.

Saya nggak menutup mata. Beberapa hal yang sulit dilakukan memang ada: ngarep, menyuarakan pendapat berbeda, merebut apa yang menjadi hak, dan membantu yang kesusahan. Sulit, tapi nggak mustahil.

Dan suatu hari saya ketanggor tulisan seorang emak-emak bule funky berputra dua. Namanya Magda Pecsenye. Kamu bisa longok twitternya di @AskMoxie. Dia menulis surat untuk para permata hati dengan bahasa sederhana namun pikiran aduhai terbuka. Saya takjub. Bukan karena dia bule, bukan karena dia tinggal di Ann Arbor, Michigan, Amrik. Tapi karena dia berusaha mencegah anak-anaknya menyumbang masalah terbesar dalam peradaban manusia: pelecehan hingga perkosaan pada perempuan. Ini saya terjemahkan buat kamu yang terkendala bahasa tapi penasaran pengen tahu, seizin Magda:  

Kepada putra-putraku tersayang,

Mungkin teman kalian mengalami banyak hal mengerikan dan pelakunya juga mungkin salah satu teman main yang lain. Dan kalian sudah besar sekarang, sudah umur 11 dan 8, dan kejadian yang membuat Ibu menulis surat ini barangkali belum pernah kalian dengar. Tapi kejadian-kejadian semacam ini terus terjadi setiap saat. Iya. Menyedihkan. Jadi, rasanya Ibu perlu bicara ke kalian.

Pertama, kita pernah membahas bagaimana istimewanya tubuh kita, dan kitalah, si pemilik tubuh, yang berhak memutuskan mau ngapain dengan tubuh ini. Ibu nggak pernah mencekoki kalian dengan apapun yang kalian nggak mau, atau memaksa kalian menyentuh siapapun yang nggak ingin kalian sentuh, atau memaksa kalian ngobrol ke orang yang kalian nggak suka. Itu karena Ibu ingin kalian paham bahwa batasan pribadi ada di tangan kalian sendiri. Kita sudah belajar sun jauh, belajar menunjukkan perasaan pada orang yang disukai tanpa harus menyentuh kulit. Kita juga sudah belajar “tos” jika kalian hanya ingin bersentuhan tangan dengan seseorang. Kita sudah sering membahas untuk nggak membiarkan orang-orang menyalah-nyalahkan apa yang kalian inginkan, atau mendengarkan orang-orang sok tahu yang merasa lebih paham apa yang baik untuk kalian. Dan kalian juga harus, HARUS, selalu ngomong ke Ayah, Nenek, atau Ibu jika ada orang yang membuat kalian nggak nyaman.

Kita juga sering banget, kan, ngobrolin tentang sentuhan? Kalau ingin menyentuh, kita harus yakin orang itu mau disentuh. Jadi, jika kalian mau menyentuh dan orangnya bilang “NGGAK!” atau “JANGAN!” kalian harus berhenti saat itu juga (termasuk bercanda, pura-pura meninju lengan kakak atau adik). Dan bahkan jika orang itu nggak bilang “NGGAK” atau “JANGAN”, kalian harus perhatikan, dia senang nggak disentuh? Ngerti, kan, kadang-kadang kalian sendiri suka dikelitikin dan kadang-kadang nggak mau? Nah, semua orang juga begitu. Jadi, misalnya teman kalian suka dikelitikin kemarin, belum tentu hari ini masih mau dikelitikin. Atau disentuh dengan cara apapun.

Sekarang Ibu mau bicara tentang seks. Ibu tahu kalian sudah paham “cara kerja” hubungan seksual karena kita sudah membahasnya sejak kalian kecil, sejak kalian belum bisa membaca. Dan kalian juga sudah tahu tentang sperma dan sel telur dan penis dan vagina dan vulva dan orgasme dan kondom dan semua hal yang berkaitan dengan kata-kata tersebut. Ibu juga sudah bilang rasanya menyenangkan dan kalian sepertinya nggak percaya, tapi ya kalian toh yakin sama Ibu. Namun satu hal yang Ibu nggak bilang ke kalian adalah: rasanya luar biasa ketika kalian melakukannya dengan orang yang juga ingin melakukannya dengan kalian. Seperti… mengudap keripik kentang diteruskan dengan makan es krim, seperti marathon nonton Naruto, atau dua hari berturut-turut berenang di pantai. Kalian tahu kan bagaimana senangnya Ibu punya sepatu baru? Nah, seperti itu, tapi 500 kalinya. TAPI itu hanya terjadi jika kalian melakukannya bersama orang yang benar-benar senang dan meminta kalian melakukannya lagi.

Ini yang Ibu maksud agar kalian menunggu. Ibu ingin kalian bisa menahan diri dan melakukan hubungan seksual sampai orang dekat kalian memintanya. Mungkin mereka akan berkata betapa mereka butuh kalian, mereka nggak sabar menunggu, dan mereka ingin sekali. Mereka akan memanggil nama kalian dan memintanya.

Namun jika suatu hari kalian berada di situasi itu tapi kalian nggak mau, jangan lakukan. Dan jika kalian berada di situasi ingin sekali berhubungan seksual tapi pasangan kalian nggak minta, jangan lakukan. Seks itu menyenangkan HANYA jika kedua orang yang melakukannya memang menginginkannya. Jika tidak, akan ada pihak yang terluka. Roman-romanan sudah cukup aneh tanpa harus ada hati yang tergores, asal kalian tahu kapan harus berhenti (dan Ibu tahu kalian akan selalu bisa berhenti—karena itulah manusia punya ibu jari yang menghadap terbalik).

Surat ini hampir selesai, tapi yang selanjutnya ini yang super-duper penting: nggak semua orang diajarkan semua hal yang telah kita bicarakan. Kalian akan bertemu orang lain, dan kemungkinan besar akan berteman dengan mereka. Orang-orang ini mungkin akan berpikir, oh, nggak papa kok begitu-begini ke orang lain, dan mungkin orang lain itu terluka dan mereka nggak peduli. Salah satunya ya tentang seks. Ibu tahu, suatu hari nanti kalian akan dengar teman kalian yang cowok-cowok bicara tentang cewek-cewek, atau tentang cowok-cowok juga. Itu artinya mereka nggak punya perhatian ke cewek-cewek tersebut, nggak peduli pada perasaan dan tubuh perempuan. Jika kalian keberatan, Ibu ingin kalian ambil tindakan. Kalian bisa bilang, “Sob, kelakuan lu nggak asik, tauk!” atau semacamnya, asalkan orang yang sudah berkata kasar atau jahat itu tahu bahwa tindakannya nggak pantas. Kalian harus ingat: semua orang ingin diterima. Jika kalian bisa mengambil alih suasana di ruangan dan bilang kalau ngomong yang jelek-jelek tentang orang lain itu nggak asik, mereka pasti akan berhenti supaya nggak terlihat bodoh.

Kita pernah bicara bahwa kita adalah orang-orang yang suka menolong, yang memberi bantuan saat ada masalah atau ada orang kesusahan. Kalian ingat, kan? Suatu hari nanti kalian akan punya kesempatan itu. Karena cowok-cowok yang ngomongin hal-hal nggak asik tentang cewek kemungkinan akan melakukan hal-hal jahat terhadap perempuan. Jika kalian kebetulan berada dalam situasi dimana ada lelaki yang menyakiti perempuan, atau menyentuh perempuan dan perempuannya nggak suka, kalian harus bertindak. Jika si perempuan sedang tidur atau mabuk atau pingsan atau dicekoki obat dan nggak bisa bilang “NGGAK”, kalian harus bertindak. Ingat, bersentuhan pun tidak menyenangkan kecuali dua orang memang mau melakukannya. Apalagi memaksa berhubungan seksual. Jika si perempuan nggak bisa ngomong bukan berarti dia menginginkannya. Jika si perempuan nggak bilang secara jelas dia ingin disentuh, maka menyentuhnya adalah tindakan yang salah.

Dan begini caranya bertindak:

1. Jika dirasa aman untuk kalian ngomong, ngomonglah. Suara kalian harus kuat dan bernada perintah. Bilang pada si lelaki bahwa kelakuannya itu salah, dan pastikan dia mengerti apa yang kalian katakan, bahwa tindakannya nggak asik, dan dia itu bangsat (maafkan, Ibu mengumpat. Tapi jika kalian ada dalam situasi ini, kalian juga akan mengumpat). Bantu si perempuan pergi dari situ, cari tempat aman, lalu hubungi keluarganya (bahkan jika si perempuan takut dimarahi ortunya, tetap hubungi keluarganya. Jika orang tuanya marah, hubungi Ibu. Biar Ibu yang bicara.)

2. Jika kondisinya tidak aman untuk mengatakan apapun, pergi dari tempat itu secara diam-diam dan hubungi Ibu. Ibu nggak peduli meskipun kalian berada di tempat yang nggak seharusnya, atau kalian ternyata di situ padahal pamitnya pergi ke mana, atau di Kanada, atau di mana lah yang kemungkinan bakal bikin kalian bermasalah. Kalian akan dapat kekebalan jika menghubungi Ibu untuk minta bantuan. Telepon genggam Ibu selalu menyala, dan nggak masalah mau siang, malam, dini hari, atau kapan pun kalian menghubungi. Jika Ibu nggak langsung angkat, hubungi Ayah. Aturan kekebalan juga berlaku untuk Ayah. Hubungi salah satu dari kami dan sebutkan di mana kalian berada dan kami akan datang membantu. Lalu tutup telponnya, kemudian hubungi polisi. Sebutkan alamatnya dan jelaskan bahwa ada penyerangan sedang terjadi. Polisi mungkin akan minta kalian untuk tidak menutup telepon sampai mereka datang.

3. Bahkan jika kalian nggak suka dengan kelakuan si cewek itu, bertindaklah. Meskipun dia jahat, atau sombong, atau orang-orang bilang dia melakukan hal-hal yang menurut kalian menjijikkan, bertindaklah. Apapun yang telah dilakukan perempuan itu, nggak ada seorangpun yang berhak menyakitinya. Jika kalian bertindak saat itu juga, besoknya nggak papa kalau kalian mau benci dia lagi. Jika kalian nggak bertindak, yaaa… apa bedanya kalian dengan pecundang-pecundang yang menyakitinya? Kalian tahu diri kalian sesungguhnya. Bertindaklah!

4. Nggak usah khawatir akan dibenci seluruh dunia jika kalian menghentikan anak keren berbuat jahat. Kalau kalian menghentikan seseorang agar tidak menyakiti orang lain, kalian adalah pahlawan. Di situasi inilah kalian dibutuhkan. Dan jika ada orang yang nggak suka dengan tindakan kalian, peduli setan. Ayah dan Ibu akan melakukan semua hal semampu kami supaya orang-orang yang nggak suka kalian jadi pahlawan itu menjauh dan tutup mulut.

Kita sudah lama melatih semua ini, menjadi orang yang selalu siap sedia menolong. Ingat, kan, waktu kita ada di tengah orang tusuk-tusukan di stasiun kereta bawah tanah dan kita membantu seorang ibu dan anaknya pergi dari situ? Ingat, kan, waktu kita membantu salah seorang teman Ibu dari suaminya yang jahat? Ingat, kan, saat-saat yang kita habiskan di taman bermain, memotret orang-orang aneh yang memandangi anak-anak kecil dengan tatapan aneh? Kita telah berlatih untuk bertindak dan membantu orang lain. Kalian bisa melakukannya. Ibu tahu kalian bisa.

Ibu sayang kalian.





Time Stands Still

$
0
0
Picture taken from here.

Real generosity towards the future lies in giving all to the present.
Albert Camus.


So, what are we?

Sleeping mates. What else?

You sure?

Yes.

Great. You answer my needs, then.

Glad to hear that.

But do you need me as I need you?

I don't know.

Why?

Well... I don't need people that much. I am self-provided.

Seriously?

Yes.

But why did you say yes?

I don't know. Maybe I'm just lonely.

Same here.

It takes one to know one, you see.

But...

Hey, it's okay. I take you as a gift.

Why?

Because first, it's fun to be with someone who knows and accepts me for who I am. Second, it's great to have a hug or two by a friend. Third, well... because you listen. 

That's it?

Yes.

So where's the "gift" part of me, then?

Let me put it this way: have you ever been to the point where you don't need anything anymore? When you feel enough and happy as a clam?

Yes. And?

And somehow, out of the blue, there's someone offers you something that you once knew but lost, something you remembered well and started to fade, and you didn't know that you long for it until the chance to taste again that "forbidden fruit" called memory appears before your very eyes.
     
So I'd be that "someone", then.

Bingo!

So?

So what?

No strings attached?

No strings attached.

But we're friends, right?

Of course!

And I am free to fool around with other girls.

My pleasure.

And I could get back to you anytime I want?

It depends.

On what?

On whether or not it's still fun. 

That was your heart saying.

Nothing that I do without my heart involved.

But that's so girly. I didn't know you do that.

Well, it is to balance my rational thought. I have to think like a girl sometimes so people don't forget that I'm a girl.

Haha. 

If you're standing in my shoes, there won't be "haha" in them.

Sorry.

That's okay. 

But I don't want to hurt you.

No, you won't. I won't let you. And even if I'm hurt, that's my problem. Not yours.

Haha. Can people really do that?

Well, in my case, it works. All the time. 

Now tell me. What were you doing back then?

Dunno. Breaking my own boundaries, perhaps.

But why?

Well... perhaps to grind down my own egoistic self? Dunno. I really don't know.

But I'm in love with other girl.

That's okay. Go for her.

Are you gonna be all right?

Why shouldn't I? What comes must go. And what goes must have been replaced eventually. It applies to anything, and present included. 

And what are we doing now?

Ummm... enjoying my present, perhaps? Hihi.

Haha. You're weird. I like that.

Like I said. It takes one to know one.



And there they are, two lost souls, roaming the time called life deep in their thoughts, walking side by side but never a slightest touch, afraid of the wound that may caused, and hope that again, lost.          



Sekadar Pengingat

$
0
0
Penyair adalah mahluk aneh yang bisa mengubah kopi, rokok, malam dan hujan menjadi larik-larik puisi.

Saya bukan penyair. Penulis pun bukan. Malu rasanya mau ngaku-ngaku penulis tapi nggak pernah ada satupun karya yang naik cetak. Kan nggak proven and tested jadinya. Nggak kayak temen saya Elia Bintang yang diam-diam sudah bikin 3 novel. Iya, TI! GA! Tapi saya pengen bisa nulis kayak dia, konsisten dan punya napas panjang, telaten ngetik dan baca, dan sabar menjalani proses dari awal hingga selesai.

Tapi gini deh, tak kasih ilustrasi: bagaimana rasanya kehabisan bensin di tengah jalan yang tepian kanan-kirinya cuma sawah dan purnama dini hari telah tergelincir turun menunggu aplusan dengan matahari? Buat yang suka parno sama benda-benda tak kasat mata sih pasti bakal bete. Saya? Ya paling minggir, nyalain rokok, poto-poto jika baterai di kamera ber-hp (eh, kebalik ya?) masih cukup atau kebetulan bawa powerbank sambil nunggu pagi dan nunggu orang baik lewat untuk membelikan saya bensin di pinggir jalan yang biasanya botolnya ada tulisan ABSOLUT VODKA-nya.

Tapi bagaimana jika kamu kehabisan bensin ketika jalan hidupmu masih panjang dan satu-satunya orang yang bisa kamu mintakan pertolongan hanya dirimu sendiri?

Bangsatnya, itu yang saya alami sekarang. Saya seperti habis ide di Bali. Bukan, bukan berarti saya lungkrah kelelahan. Justru sebaliknya. Keadaan terlalu nyaman dan damai membuat "api" saya hampir mati. Padahal "bensin" saya adalah amarah. Well, setidaknya itu yang dibilang salah satu empu yang dulu ilmunya sering saya curi di pojokan Jakarta Selatan tempat saya biasa begadang ngembat koneksi hotspot. "Kamu itu cuma punya dua emosi: senang dan marah. Kalau marah, baru kamu hidup," ujar beliau suatu malam sambil berlalu ke pantry.

Saya nggak mengiyakan, tapi nggak juga menidakkan. Sebenarnya ucapan itu bisa saja benar dan bisa juga salah. Saya nggak suka ada orang sotoy kayak gitu, tapi ya apesnya orang itu memang guru saya. Dan sepengalaman saya, dia selalu melihat yang tersirat di balik yang tersurat, khas orang-orang tua pada umumnya yang keluberan pelajaran. Terus saya mau bilang apa dong?!

Sepertinya satu hal dari orang-orang tua yang celahnya belum bisa saya dapatkan adalah bagaimana mencermati semua hal yang mengalir di depan mata sambil menikmatinya dan memasukkannya ke dalam database pengalaman untuk bisa membuat anak-anak (sok) muda nan belagu seperti saya merasa diskakmat sampai nggak bisa berkutik dengan ucapan semacam itu. Tapi ternyata saya bukan satu-satunya yang kepaten geni ketika berada dalam kondisi terlalu aman-damai-nyaman-sentosa. Kemarin satu lagi pengakuan dari Kangmas Ayah Guru yang kebetulan bertandang ke Sanur. Dia yang karena desain nakal-dan-pasti-subversif-nya akhirnya bisa bekerja di Bali hanya sanggup bertahan tiga bulan karena ya... kehabisan bensin itu tadi. Saya nggak tahu pasti bagaimana nasib project-nya itu. Kayaknya sih dia kembali ke habitatnya, ngurusin anak dan istrinya main-main di kebun belakang menyelamatkan generasi muda bangsa Indonesia jika tiba saatnya para eyang menonton shitnetron dan ngotot ngajak cucu.  

Tapi saya juga nggak mau dikendalikan kondisi. Sebagaimana Kangmas Ayah Guru itu ngeles dari cengkraman ortu dan mertua tukang cekok shitnetron ke cucu, saya juga harus pintar ngeles dong. Saya yang harus mengendalikan. Saya kan control freak getoloh. Jadi, sepertinya saya harus putar mindset lagi nih, kayak vokalisnya Weezer yang tetap bisa bikin karya tanpa harus dikendalikan mood.

Yuk, yuk!

Tapi, mari kita tidur dulu. Selamat full moon. Sering-seringlah lihat ke langit kalau jalan-jalan malam di Bali. Bintangnya BUWANYAK!

Hihi.  



    

Resurrection: Bersihin Kamar adalah Kunci!

$
0
0

Nasihat adalah cara seseorang memperingatkan dirinya sendiri melalui kesotoyannya dalam memandang masalah orang lain. Itu juga kalau dia sadar dirinya bermasalah.

Jadi, ketika saya mengetikkan ini, kata pojok kanan atas layar ponsel saya sudah jam 3:29 pagi waktu Ubud dan sekitarnya. Saya nongkrong di lantai teras nan duwingin mampus ditemani suara jangkrik, kodok, dan sesekali lolongan anjing tetangga sementara menunggu lantai kamar kering sehabis dipel.

Eh? Dini hari ngepel?

Iya. Saya sedang terapi membenahi diri. Karena saya kangen Bu Anggi.

Di suatu masa yang rasanya seperti berabad-abad lalu saya pernah diberi wejangan oleh beliau bahwa manusia seringkali dikenang BUKAN dari hal-hal besar yang dilakukannya, melainkan dari tindakan-tindakan remeh yang diperbuat dengan tulus. Dan lagi-lagi kata Bu Anggi, percuma juga mengandai-andai melakukan sesuatu yang besar jika satu tindakan kecil saja gagal terlaksana. Dan entah kenapa saya berasa mak nyos ketika mengasosiasikan bentuk dan rupa kamar saya, dunia kecil saya, tempat perlindungan, suaka-kandang-"rahim"-benteng-gua-palung-pohon Boddhi saya dengan ingatan itu yang datangnya nggak pakai permisi saat saya buka pintu sejam lalu.

Hidup saya tercermin pada kondisi kamar (yang seharusnya) nyaman dengan halaman luas tanpa riuh suara kendaraan dan asap knalpot namun sering bikin masuk angin jika saya ketiduran dan lupa pakai selimut, meskipun tanpa kipas maupun pendingin udara. Banyak barang-barang remeh tercecer di lantai sebagaimana saya meninggalkan beberapa unfinished business di tempat tinggal saya dulu--pada Ibu Kos (halo, Mama Rana! Hihi), pada The God in Human Form (lirik Om Jim dan Mbah Wicak), pada dream project saya sendiri (elus-elus ebook Satanic Verse), pada janji-janji yang belum tertepati (saya nggak mampu menyebut siapapun pada jeda ini karena daftarnya akan puwanjang sekali dan tulisan ini bakalan jadi teramat panjang jika dituruti).

Sering saya merasa sebal ketika ada orang yang merasa lebih tahu tentang hidup saya lalu merasa berhak memberi larangan dan panduan tentang bagaimana saya seharusnya bersikap. Well, meskipun saya sering sok jago menuhankan diri sendiri (dan invoice!) ternyata saya masih sama seperti manusia lain pada umumnya. Ogah dikritik, bete dinasihati, gondok kalau disalah-salahin. Untung saja saya tidak punya kemampuan mengazab. Jika punya, mungkin tidak ada lagi yang tersisa dari apa yang disebut ras manusia. Dan monyet. Dan kucing. Dan nyamuk. Dan lain-lain.

Lalu? Intinya apa, Pit?

Nggak ada. Saya cuma mau pamer kalau saya sebenarnya rajin dan nggak suka kamar berantakan. Dan Ubud hampir subuh ini dinginnya bikin jari kaku buat ngetik. Dan ponsel saya lowbat. Dan kasur nyaman saya sudah memanggil-manggil. Tapi saya senang karena saya berhasil membereskan satu masalah nyata dalam hidup, meskipun saya merasa habis melakukan ritual buang sial karena banyak sekali peninggalan yang mengingatkan saya tentang kepercayaan yang dihianati, dan saya bangga dapat melalukannya.

This too shall pass? Nah. THIS, too, HAS already passed!

What I Think When Riding

$
0
0
Gambar nyomot dari koleksi wallpaper, lupa nyedot dari mana


Nothing behind me, everything ahead of me, as is ever so on the road
 - Jack Kerouac, On the Road


Lari 90 atau 100 km/h emang gokil sih. Tapi kalo ada anjing item nyebrang nggak keliatan dan gue telat ngerem, apa kabarnya ya?

Must. Resist. To. Crash. On. That. Battered. Truck!!! (kalo nggak gue bakal tetanus, soalnya berkarat semua)

Dije jani, kleng?

Terpujilah siapapun yang pertama kali punya konsep bikin sate, dan semua orang yang mengembangkan ide itu sampe jadi bermacam-macam. Mereka adalah orang yang pantas menempati surga! Kalau ada.

Should there be fourth, fifth, sixth, seventh dimension, how many the invisibles I crash right now? I wonder...

Mesti maketin HDD external. Sabar ya, Ndul.

Tadi spaghetti-nya Emak enak sekali...

He's getting weird by the day, dying and craving for attentions that he didn't get. Poor him. No one told him that he's wrong. Or perhaps they did but he ignored. I did, twice, after he jeopardized my life, but he didn't listen. There won't be any third and he did massive mistake and I don't forgive and forget. Wait, I don't forgive but I do forget. Correction: I obliterate his existence. Oh, well. There goes an ex-friend. I never thought that a person could be so stubborn.

Besok staff meeting dan makan siang. Mesti ke laundry juga pagi-pagi.

Gimana ya rasanya hidup abadi nggak mati-mati dengan badan yang itu-itu aja, nggak pernah tua, tapi jeroannya aus sedikit demi sedikit dan nggak ngerasa kesakitan? Kalo tubuhnya secara biologis udah nggak bisa jalan dan pake life support buatan, gimana dia minta mati? Kalo bisa ngukur kesadaran pake gelombang otak endeswai-endesbrai dan ternyata dia bosen banget dan tersiksa banget saat itu tapi dia masih sadar sepenuhnya, gimana matiinnya?

Komik History of Violence itu keren mampus! Apa rasanya ya disiksa tiap hari selama dua puluh tahun? The idea of neraka dalam agama kayak gitu sih. Kurang dibakar doang. Kayak sate.

I miss you... and you're outta reach.

Si Sapi lucu sekali. Kenapa puppy ekornya selalu goyang? Mungkin kalo anak manusia punya ekor juga gitu kali ya, always excited. Kayaknya makin gede manusia makin banyak hal yang bikin dia kecewa dan bikin dia less excited, makanya kayak anjing juga. Makin gede ekornya makin jarang goyang. Kalo yang galak jadinya menggeram terus, kuatiran teritorialnya dilanggar. Ya sama kayak gue sih. Makin milih-milih temen. Gue nggak temenan ama si anu-ina-inu juga nggak mati sih. Mereka nggak temenan ama gue juga nggak mati. Mati itu di tangan keapesan masing-masing.

Aduh... Jam dua pagi dan kebanan. Tapi nggak papa sih, mereka berdua. Nuntun motornya nggak ngenes-ngenes banget, masih ada yang bisa diajak ngobrol. Kalo sendiri pasti sedih, ngobrol ama setang doang. Mudah-mudahan rumahnya deket, jadi nuntunnya nggak capek-capek amat.

Speaking of which... Kalo gue mati masih jomblo juga nggak masalah buat gue. Yang masalahin paling orang-orang sekitar gue, orang-orang yang punya kerja sampingan di Departemen Urusan Orang Lain.

Sampe hari Sabtu kayaknya bakal motoran Ubud-Sunset Road terus. Ya buat rumah sendiri, nggak papa lah ngelaju juga. Makanannya enak-enak kok. Dan orang-orangnya menyenangkan.

Dan Si Ayah ulang tahun ke-44. Menyenangkan. Elu mau nggak, Pit, pas ulang tahun dikelilingi orang segitu banyak, mereka yang udah pernah lu sentuh hidupnya, orang-orang yang merasa beruntung punya guru dan tempat curhat ide, yang ubannya jauh lebih banyak daripada orang lain, kerjaannya juga bikin gara-gara tapi bikin pinter, dan masih bisa nyengir kalo ada orang dikasih hati ngerogoh biji? Dunno. Sounds fun.

I miss you... and you're outta reach.

Itu kenapa MegaPro yang tadi nyalip gue sekarang berenti di pinggir jalan? Oh... Masnya pipis...

Kayaknya seru kalo jam dua pagi gini mendadak ada virus outbreak dan bikin semua anjing jadi zombie. Kalo nggonggong kayaknya lucu. Kira-kira mereka bakal lari-lari atau jalan terseok-seok kayak zombie manusia? Terus ngincernya apa? Otak sesama anjing juga? Wah, FPI selamet tuh. Tapi mereka kan nggak di Bali. Si Sapi kalo jadi zombie masih lucu nggak ya? Kalo ekornya goyang-goyang terus nggak berenti-berenti, kira-kira bisa putus nggak? Lagian, ada apa sih guguk kecil sama ekor goyang-goyang? Sampe lagi duduk aja ekornya masiiih goyang-goyang. Dia kepegelan nggak ya?

Pulang ke Jakarta. Hmmm...

Besok mau bikin entri blog pake apa yang gue pikirin ini.

Attitude, Anyone?

$
0
0
Courtesy of Lugu Gumilar, disedot pas orangnya lagi makan di seberang meja



Hidup bukan sekadar menunggu badai reda, tapi tentang bagaimana menikmati berdansa di bawah hujan

- Anonim



Duluuu sekali ternyata saya pernah “mencela” teman perempuan yang—menurut saya—cantik, bohay, wangi, menarik dan bobokable. Sempat saya berpikir jika saya diberkahi dengan bentuk bodi mematikan—eh, koreksi, menggiurkan—seperti itu pasti saya akan jauh lebih bitchy dari sekarang dan saya pasti punya lebih banyak piaraan mas-mas baik yang tunduk di bawah kaki saya. Tapi tenyata mentalnya cemen. Cuma segitu aja. Kejadian deh sebaliknya: alih-alih membuat lelaki bertekuk lutut di sudut kerlingnya, dia malah terkuple-kuple mengemis perhatian cowok chauvinis abis yang melumpuhkan fungsinya sebagai manusia karena kemana-mana diantar-jemput, makan dibeliin, cuma cebok aja yang nggak dicebokin.

But, hey… mungkin dia senang dibegitukan. Merasa jadi perempuan utama yang berada di daftar teratas prioritas lelakinya. Mungkin dia baik, nggak selicik saya yang oportunis mampus melihat semua celah sebagai kesempatan memanfaatkan. Atau mungkin otaknya emang nggak nyampe buat mikir ke situ karena sebagai anak tunggal dari keluarga berada membuat semua kebutuhannya tercukupi tanpa harus rekoso menggapainya, membuat pikirannya nggak sekreatif saya. Atau mungkin saya aja yang sirik karena harus ngapa-ngapain sendiri dan nggak pernah punya tandem bahkan untuk sekadar bobok bareng. Iya, ini curcol. Nggak usah protes.

Kemudian sejak beberapa bulan pantat saya ada di Bali saya banyak lihat yang lucu-lucu. Bukan, saya nggak ngomongin salah satu dayang ganteng bermuka gondrong sekaligus tentengable yang membuat derajat saya naik karena nonton Papa James bareng pas ibadah Metallica Jakarta kemarin. Meskipun dia masuk dalam kategori “lucu banget”. Saya ngomongin beberapa mbak-mbak blonde kriwil berkaki jenjang berpaha lencir-mengkal bersusu kenyal.

Dan saya ngaku, sebagai perempuan gendut ternyata saya berbakat chauvinis juga. Yah, kanggoang lah. Namanya juga woman womini lupus. Perempuan adalah pemangsa terhadap sesama perempuan. Kalau ada yang bening sedikit aja pasti dicari celanya, dicari jeleknya. Salah kostum, lah. Make up ketebelan, lah. Gaya slutty, lah.

Nah, jadi ada beberapa mbak-mbak blonde kriwil berkaki jenjang berpaha lencir mengkal bersusu kenyal yang kerap saya temui. Beberapa kali interaksi dengan mereka saya sudah bisa menunjuk mana yang slutty dan mana yang miss goody two shoes. Padahal ya sama-sama suka pake kaos intelek—intip susu lewat kelek—dan rok/celana kaum miskin kota yang kurang bahan sampai rasanya saya berniat mendonasikan kamen biar mereka bisa sekalian ngeceng di pura sama bli-bli pakai udeng yang entah kenapa level kegantengannya menanjak drastis. Terus, tahu dari mana, Pit, bedain dua jenis spesies itu? Ya dari attitude, dari sikap, dari cara mereka bicara dan memperlakukan orang lain, terutama yang secara status sosial lebih rendah dari mereka. Ada lho, mbak-mbak berpakaian minim kain tapi attitude-nya classy. Ada juga mbak-mbak jilbab lebar yang gayanya bitchy gatal. Kalau di keramaian sering mati gaya tapi males pulang dan ujung-ujungnya menyamar jadi tanaman hias jejadian di pojokan—yang ada secara fisik tapi nggak terlihat—dan memperhatikan orang lalu-lalang, seperti saya, you’ll know the difference.

Terus, kamu nulis kayak gini emang kamu punya attitude yang diperlukan untuk merasa benar, Pit? Idih! Ya nggak lah! Saya kan emang iseng doang being bitchy. Masalah?


The List of Bahan Tokai

$
0
0
Pengobatan darurat untuk hati yang luka adalah makanan enak. Setidaknya meskipun sedih, tapi perut dan lidah bahagia

Tahu kan kalau saya dikutuk punya ibu jago masak bernama Bu Anggi? Untuk meminimalisir pengeluaran tak menentu dari kebiasaan jajan, sedari kecil Bu Anggi membiasakan sekeluarga makan di rumah sekalian belajar masak. Meskipun cuma tepung dikelapain dan dikasih gula, yang penting nggak jajan. Tapi mungkin karena bikinnya niat dan, yah… namanya juga ibu-ibu. Bikin apapun untuk keluarga pasti pakai cinta. Jadinya ya enak-enak aja. Makanya, anak-anaknya yang cuma dua dan suaminya yang baru satu, hanya bisa membedakan dua rasa makanan: enak dan enak banget.

Lalu saya sebagai anak sulung mursal dan jarang pulang mendadak “terdampar” di Bali hampir setahun lalu. Pulau Dewata, memang, tapi teramat sangat jauh—dan mahal—dari rumah, dari dapur tempat Bu Anggi mencipta maha karya yang bikin lingkar pinggang kami melar dan berat kami susah turun. Jadi, sebagai anak Bu Anggi yang baik yang menjunjung ibunya di atas kepala tinggi-tinggi, saya mengenang beliau dengan cara sendiri: mencari tempat makan enak dan murah. Ini dia (berdasarkan seingatnya dan koordinat Google Map sekenanya yang bisa di klik di judul)!

Kalau kamu dari arah Sayan ke Tebongkang, setelah Gaya Ceramics sebelah kanan kira-kira 300 meter kemudian, tengoklah ke arah kiri. Ada papan berlatar merah bertuliskan SRI BOGA AMERTA. Buka jam 10-16, warung ini termasuk sepi meskipun Ayam Betutunya nendang. Harganya standar, Rp. 15.000 per paket nasi campur komplit minus minum. Semua makanan tanpa babi. Saya paling suka sayur mirip urap yang ada parutan kelapa (yang namanya saya lupa). Maaf, nggak ada fotonya. Lupa diri sih, kalau sudah lihat makanannya. Mungkin karena setiap ke sini saya pasti dalam kondisi kelaparan berat.


2. Bakso Rusuk Naruto 

Saya nggak tahu kenapa jasa penyewaan pick up di pusat kota Denpasar ini jadi nama warung bakso (kalau kamu tinggal di sekitaran Denpasar pasti kamu nangkep joke-nya. Sorry, lokal banget). Saya juga nggak tahu kenapa Mas Joko, orang Solo sang pengelola warung yang nyasar di Ubud dan sedang cari cewek Bali ini, pakai nama Naruto yang asli Konoha dan sama sekali bukan Jawa. Tapi kalau kamu kebetulan lewat Sayan antara jam 10 sampai jam 22 dan kelaparan, sekitar 200 meter dari warung Sri Boga Amerta ke arah Kedewatan, kamu bisa mampir ke sini. Untuk ukuran bakso Bali yang kuahnya biasanya bikin trauma karena rasa air ketuban, bakso Naruto ini lumayan mengobati penyakit kangen rumah. Bakso campur komplit berisi bakso telur, bakso urat, dan tahu—tanpa rusuk—plus kerupuk pangsit sebiji minus minum harganya Rp. 8000. Sambil menunggu bakso diracik, kamu bisa icip-icip sosis Solo (yang menurut ibunya Mas Joko adalah lumpia), sebijinya cuma seribu. Kalau kebetulan ada Mas Joko, ajak dia ngobrol. Apalagi mendekati waktu tutup warung. Biasanya dia akan curcol sambil menawarkan rokok lengkap sama apinya.


Bakso Naruto minumnya pake FRUT tea
Maaf, pangsitnya udah dicemil duluan

3. Tipat Cantok

Nah, saya biasanya ke sini kalau merasa sudah agak sembelit perlu asupan hijau-hijauan. Tapi terutama sih tanggal tua, ketika makan tidak lagi berdasarkan keinginan melainkan harga. Tipat cantok yang mirip ketoprak berkangkung—dan kadang kalau sedang beruntung dilengkapi rumput laut yang mirip pakis—hanya Rp. 5000, plus es gula Rp. 2.000 dan kerupuk Rp. 1000 total hanya Rp. 8000. Lumayan bikin perut penuh. Aman buat vegan karena nggak pakai terasi. Ada juga rujak kuah pindang dengan aroma ikan mengundang lapar. Tapi favorit saya sih rujak gula pasir berisi jeruk, nenas dan bengkuang. Harganya rata 5000-an. Lokasinya nggak jauh dari Bakso Rusuk, bersebelahan dengan lalapan dan bengkel, tepat di seberang toko kelontong Yon Mart. Buka jam 10 dan biasanya tutup jam 17.
                       
Kalo ini namanya rujak









Ini lho yang namanya Tipat Cantok

4. Warung Pink

Ini salah satu warung yang saya datangi jika pagi-pagi kelaparan habis begadang dan dompet tipis belum gajian. Pemilik dan pegawainya orang Jawa Timur, dijamin tanpa babi. Biasanya buka sejak jam 8 dan tutup jam 17 atau jam 18, sesuka-sukanya. Letaknya kurang lebih 100 m dari belokan Sayan ke arah The Mansion menuju Penestanan, sebelah kiri jalan di seberang toko kelontong. Gambar di bawah itu tumisan buncis dan wortel, kering tempe dan kerupuk yang total hanya Rp. 6000. Jagoannya sih semur ayam dan ayam bakar berkuah, tapi biasanya agak siangan baru ada. Tempatnya enak meskipun agak sempit saat pengunjung datang di jam makan siang. Dan, seperti namanya, dindingnya bercat agak jambon, meskipun nggak tepat pink. Ya lumayan lah, daripada lu manyun. Iya. Garing. Kriuk!


Menu vegan, untuk tidak menyebut sedang kere  

5. F.R.E.A.K Coffee

Diambil dari spot favorit sebelah pintu masuk karena dekat colokan dan WiFinya paling kencang!  

Ini biasanya spot saya mojok bareng kerjaan atau ebook dari ponsel, barengan latte enak seharga duapuluhribuan. Lokasinya dekat SPBU Tebongkang. Dari Nyuh Kuning belok kiri sedikit menuju arah Singakerta, sekitar 100 m, sebelah kanan jalan. Tempatnya nyaman. Bagian depannya luas dengan meja dan kursi minimalis dan tiga gazebo beratap ilalang di bagian belakang untuk lesehan (atau pacaran =P). Berlatar hutan-hutanan dan gemericik sungai kecil di bawah, enak banget buat leyeh-leyeh. Toiletnya asyik, setengah outdoor karena efek atap plastik yang agak bening. Sejak jam 10 pagi sudah buka dan tutup jam 22.

Sebenarnya F.R.E.A.K barengan sama warung Sate Kakul yang juga sedia ikan dan ayam bakar dan plecing. Kalau saya libur tapi mager (males gerak), saya bisa berjam-jam di sini. Biasanya berawal dari makan, paket ayam bakar dan plecing seharga duapuluhribuan (belum pakai minum), terus nge-latte, deh! Ah, dunia indah…


Sudah mulai ngiler?
Ada Mandala di latte

























6. Warung Pak Nyoman

Bebek bakar di sini, menurut teman saya, adalah makanan dari surga—itu pun jika surga beneran ada. Biasanya saya ke sini habis gajian atau kalau ada yang mau nraktir =P Bebeknya empuk dan bumbunya meresap sampai ke dalam. Ayamnya juga enak, mirip ayam bakarnya Bu Anggi, hanya beda level pedasnya. Saya nggak makan ikan, khawatir alergi kumat. Cupu ya? Iya. Pak Nyo ini lokasinya di Tebongkang, sekitar 500 m dari F.R.E.A.K ke arah Sayan, sebelah kanan jalan. Mulai buka sejak jam 9 pagi hingga jam 22, atau sehabisnya. Paket bebek bakar, nasi dan plecing (belum sama minum) sekitar Rp. 40,000—harga yang murah untuk merasakan surga dunia. Tsaaaah! Sambal matahnya enak. Biasanya saya nggak suka karena ada bawang mentahnya. Tapi nggak tahu kenapa, sambal matah di sini bisa saya habiskan. Buat yang nggak tahan pedas, hati-hati. Bumbu bebakarannya sudah pedas, apalagi sambal merahnya. Ibu dan bapak pegawainya baik-baik dan ramah-ramah. Dan Pak Nyoman sering menyamar sebagai tukang bakar atau tukang parkir. Tergantung mood-nya mau ke mana. Beberapa kali ke sini, saya sering lihat wisman asyik mengunyah bebek atau ayam sambil huhah-huhah kepedesan.

Nyeh. Surga dunia ternyata segini doang...

7. Bubur Kacang Ijo Madura 

Nah, ini juga makanan ngirit dan tersedia dari jam 18 sampai jam 1 malam, 24/7, kecuali Idul Fitri karena mereka pulang ke Madura sebulan. Saya sedih lho waktu ditinggal mereka mudik )”= Semangkuk bubur kacang hijau hangat komplit dengan ketan hitam, seiris roti tawar dan kanji yang seperti butiran merah lengket—yang saya nggak tahu apa namanya—cuma Rp. 3000. Ditambah kopi sachet segelas Rp. 2000, maka perut dan dompet saya tersenyum bahagia. Kalau masih lapar, mereka juga jual nasi goreng seharga Rp. 7000. Maaf ya, nggak ada fotonya. Tapi kalau penasaran ya datang saja. Deket kok dari Pak Nyoman. Ke arah F.R.E.A.K sebelum perempatan, sebelah kiri jalan. Nah, di situ deh gerobaknya. Sebelahan sama gerobak soto.


8. Rumah Makan Sari Minang 

Saya biasa makan di sini kalau sedang perlu hiburan atau kelaparan banget malam-malam. Warung Padang ini buka mulai jam 9 dan tutup jam 1 malam. Pegawainya ramah-ramah dan lucu-lucu. Pemiliknya, Pak Ketut, juga ramah. Meskipun pemilik, dia tetap bayar kalau makan di warungnya sendiri. Lokasinya di sebelah Indomaret, dari pertigaan SPBU Pengosekan ke arah Lodtunduh, di seberang belokan ke arah Nyuh Kuning. Satu-satunya orang Minang sekaligus chef di situ hanya Bang Joe. Lainnya bli-bli Bali semua. Cemilan favorit saya kerupuk kulit duaribuan dalam bungkus plastik kecil. Kalau menu sih saya suka daun singkong (yang pasti sudah kehabisan lewat jam 1 siang), sayur nangka, dan kikil. Tambah 2 tempe goreng, total Rp. 14.000. Biasanya saya selalu bawa tumbler berisi air putih. Makanya saya jarang beli minum tiap makan. Atau kalau mau gratis ya pesan air putih saja (“arak Bali” kata bli-bli di sini). Kalau sedang tight budget, bilang saja “nasi, 7000”. Nanti kita akan diminta memilih mau dengan telur, perkedel jagung atau tempe/tahu. Karena nasi Padang basic biasanya sudah berisi sayur, kuah dan sambal, harga 7000-pun sudah mengenyangkan. Kenyang Jawa ya, bukan kenyang Bali.

Oh, iya. Parkir kendaraan di sini agak tricky. Ada lahan kosong di sebelahnya, tapi masuknya terhalang trotoar yang lumayan tinggi. Makanya, setiap saya ke sini biasanya saya parkir motor di depan Indomaret. Asal dikunci, aman kok.

Bang Joe, di depan (atau belakang?) mahakaryanya

Saya selalu percaya kalau makanan dinginnya aja enak, apalagi panas. Ini terjadi untuk sate Bu Agung. Letaknya dekat Sari Minang, warung ketiga sebelah bakso. Kamu nggak bakal nyasar karena di depannya ada bakaran sate dengan kipas angin kecil dan sesaji. Sebungkus nasi dengan lawar merah/putih, be kecap, gorengan, dan sate babi boleh dibawa pulang hanya dengan Rp. 10.000-15.000. Ada juga kerupuk babi yang mirip rambak. Bungkus besar dalam plastik setengah kilo hanya Rp. 5000 dan yang kecil Rp. 2000. Bu Agung buka dari jam 10 sampai 22 dan tutup kalau sedang ada upacara.    


Ini pas lima belas rebu!

10. Warung Kanza 

Tahu Asterix dan Obelix? Pasti tahu juga dong kalau mereka asli Galia dan gimana orang sekampung itu semacam terobsesi menjotosi tentara Romawi dan sangat bergairah dengan celeng. Itu juga yang saya rasakan kalau ke Kanza. Dengan hanya Rp. 35.000, sepertiga lebih dikit dari harga di Naughty Nuri’s, saya bisa dapat pork ribs enak komplit dengan sayur dan kentang. Hati-hati sama sambalnya. Bikin nagih!

Kanza ini letaknya di Jalan Andong. Kalau kamu dari Ubud ke arah patung Arjuna, belok kiri. Sampai ketemu SPBU di sebelah kiri, maju terus sekitar 200 m. Kanza ada di sebelah kanan. Tapi jangan ke sini kalau kamu sedang kelaparan berat. Karena kokinya cuma satu merangkap pemilik, kadang masaknya suka lama. Tapi worthy kok.

Uniknya, Kanza ini buka sejak jam 10 dan tutup jika pelanggan terakhir pulang. Pertama kali saya ke sini karena iseng cari makanan tengah malam, saya pulang jam 3 karena asyik ngobrol dengan Bli Komang. Dulu dia mantan bartender yang kebetulan suka masak. Makanya, Mojito bikinannya pun enak. Satu pitcher hanya Rp. 35.000 dengan basis arak Bali.

Nggak cuma babi sih. Di Kanza juga ada ikan bakar (tenggiri bakarnya enak mampus!), dan kalau mau nyemil pesen aja tempe goreng. Nanti dateng deh piring berisi tempe yang diiris tipis semacam French fries dengan cocolan sambal yang bikin adiktif itu. Kalau kamu datang dan bilang temennya Pito, jangan percaya kalo dia cerita yang aneh-aneh tentang saya. Pokoknya jangan!

Before...
After...

Oke, semua poin di atas itu adalah makanan berat dan tempat leyeh-leyeh. Tapi apalah arti makan kalau nggak ada pencuci mulut. Setuju?

Nah, ini daftar tempat cemilan langganan saya di sekitaran Ubud…


11. Roti Bakar Bandung 

Saya sempat dituduh sedang berada di Cicaheum waktu posting foto ini di Instagram. Padahal bapak penjualnya orang Bali. Saya lupa nanya bukanya mulai dan sampai jam berapa, karena biasanya saya ke sini lewat dari jam 19. Biasanya sih kalau Sabtu malam saya nganggur nggak ada yang diapelin dan nggak ngapelin siapa-siapa, ya saya ke sini dulu buat bekal nonton film marathon sampai ketiduran. 

Kalau kamu sedang ada di Ubud dan kepingin RotBakBan, maju saja ke arah patung Arjuna dan cari Mojo’s Flying Buritto di sebelah kiri jalan. Nanti akan ada 3 gerobak (kalau nggak salah) dan Roti Bakar ini salah satunya. Favorit saya? Roti keju susu dibakar kering! 


From Ubud with love. Halah!

12. Confiture Michèle 

Nah, kalau kamu suka selai-selaian, cari aja tempat ini. Dari Pasar Ubud jalan pelan-pelan sambil nengok sebelah kanan sampai ada restoran Nomad. Itu Jalan Gootama. Masuk saja terus sampai hampir mentok. Kalau nemu toko imut sebelah kanan bercat putih di ujung jalan, itu dah Confiture Michèle. Selainya dari macam-macam buah. Pepaya, jambu, mangga, anggur, beneran macam-macam. Kayaknya hanya buah simalakama deh yang nggak dibikin selai sama Bu Michèle. Kalau suka crepes, di sini juga ada. Yang seperti di gambar di bawah, harganya Rp. 10.000, tipker, tipis kering. Selainya bisa milih sendiri mau yang mana. Makannya bisa di luar, duduk di meja dan kursi kayu bercat putih dan whitewashed, atau di dalam ngobrol sama Bu Michèle atau Mbok Wayan. 

Tipker Ceban!

13. Kakiang Bakery 

Nah, kalau yang ini lokasinya seberang Circle K dari Jalan Hanoman ke arah Pengosekan, sebelah kiri jalan. Tempatnya cozy mampus dan banyak tante-tante Jepangnya. Syahdan menurut konon sih pemiliknya orang Jepang. Makanya kue-kue dan roti yang dijual di sini mirip sama yang ada di dorama Jepang atau yang di anime “Yakitate!!”. Bukanya sejak jam 7 dan tutup jam 21. Mbok-mbok pegawainya ramah-ramah. Di lantai dua ada tempat buat merokok dengan beberapa sofa empuk untuk leha-leha sambil WiFi-an.

Menurut mbak-mbakan saya yang dulu sempat kerja di Komaneka (dan sekarang jadi kurator handal, sedang residency di New York sambil liat graffiti-nya Bansky yang bikin saya ngiri berat), paling enak tuh Florentine Cookies, Rp. 50,000/100 gr. Saya sih suka Mango Tart, Rp. 24.000, yang cup-nya dari pastry renyah berisi krim ditutup irisan mangga berlapis jelly. Nggak begitu manis dan nggak bikin eneg, dan paduan krim, kriuk dan segarnya mangga memang adiktif. Menurut teman saya yang orang Polandia, Mango Tart adalah “the best thing I had in my life”.

... dan saya setuju! Ini memang enak!

Jadi, gimana? Sampai kamu baca ini sudah bikin rencana ke Ubud? Siapkan kantong dan jangan lupa ajak saya kalau mau icip-icip. Ditunggu!





Judging A(n Ex-)Friend

$
0
0
A friend will help you move. A good friend will help you move a dead body.

- Anonymous


Di suatu hari yang apes karena ditinggal (orang yang saya kira) sahabat, seorang bajingan lain bilang begini:
Nggak ada yang namanya teman baik, yang ada hanyalah orang yang punya kebutuhan atas eksistensimu.

Menyakitkan untuk didengar, sebagaimana semua kebenaran adalah menyakitkan.

Lebih menyakitkan lagi ketika suatu hari salah seorang ibu (yang saya tunjuk semena-mena sebagai Emak), orangtua tunggal yang sejak anaknya bayi babak bundas mengangkat harkat keluarga sendiri tanpa bantuan pasangan, jatuh bangun membagi 24 jam waktunya antara putri semata wayang, pekerjaan, dan kehidupan pribadi, menelepon saya, bercerita, dan menyimpulkan: “Gue udah nggak tau mesti percaya ke siapa lagi. Gue kirain dia temen gue…”

Saya juga mengira dia teman saya, yang ketika saya kenalkan pada si “emak” adalah anak rantau jauh dari pulau tempat ibu-bapaknya berada. Saya abai pada masa lalunya yang syahdan menurut konon menggelapkan uang kas komunitas. Menurut saya, itu nggak penting. Dia juga nggak akan ngapa-ngapain ke saya, wong saya nggak punya apa-apa.

Tapi saya lupa kalau saya punya banyak lingkaran kecil, orang-orang yang porosnya saya orbiti, yang keberadaannya menjadi pusat semestanya sendiri, dan beberapa semesta memang saling beririsan. Saya khilaf kalau saya punya beberapa orang yang saya anggap pasangan jiwa, yang keberadaannya saya anggap penting, sebagai manusia, bukan sebagai profesi. Beberapa memang orang berpunya. Tapi hanya karena saya nggak pernah menggunakan kesempatan untuk menikmati keberpunyaan mereka, saya pikir orang lain juga seperti saya. Iya, untuk satu hal itu saya memang naïf.

Saya nggak pernah ngonsep sama yang namanya penghianatan, perselingkuhan, kebohongan, dalam hubungan apapun. Pertemanan, bisnis, maupun roman-romanan. Ini seperti menikam punggung saat memeluk. Kepura-puraan yang menyakiti. Terlihat akrab, padahal khianat. Makanya saya nggak ngerti kenapa ada orang yang diberi tumpangan hidup selama sebulan, dikasih makan, dikasih tempat pulang, masih tega membobol tabungan anak “induk semang”nya sendiri. Tabungan yang dikumpulkan oleh bocah perempuan kecil yang sering bawel ngecipris keminggris namun pendiam di depan orang baru. Bocah yang saya bayangkan matanya berbinar-binar penuh harapan akan beli ina-inu-itu nanti saat ia dan ibunya nanti punya waktu luang untuk berlibur. Bocah yang sedari kecil hampir nggak pernah tahu rasanya dipeluk Ayah, yang ibunya secara harfiah mati-matian menghidupi dan memberi makan mimpi-mimpi putrinya agar nanti punya hidup yang jauh lebih baik dan bahagia. Semacam dikasih ati ngerogoh biji. Jauuuuh.

Iya, saya memang naïf sekali. Saya yang sering membual dan merasa diri pintar bahkan nggak pernah bisa ngerti kenapa orang mesti mencuri kalau meminta pun akan dikasih. Kalau nggak dikasih ya berarti minta lagi ke orang lain. Kalo nggak dikasih juga ya mamam dah tuh kepengenan. Gitu aja kok repot. 

Tapi mungkin ada keperluan yang bagi saya nggak penting-penting amat menjadi teramat sangat krusial untuk seseorang. Misalnya, makan enak dan mahal, nongkrong bareng teman-teman biar disebut eksis, beli baju dan sepatu baru yang hanya karena pengen atau suka warna ungunya, atau apa lah yang menurut saya terlalu wah. Saya sering lupa bahwa Jakarta lebih sering mengubah seseorang berada di salah satu dari dua kutub tanpa ada tengah diantaranya: jadi setan atau jadi malaikat; jadi cerdas atau jadi bodoh; jadi jahat atau jadi baik.

Mungkin kadang saya yang terlalu sentimental, terlalu berpihak tanpa mau mendengar sisi mata uang yang lain. Karena toh akan selalu ada dua versi dari dua orang yang berbeda meskipun hanya ada satu peristiwa.

But mark this one, girl… you are no longer a friend of mine.


Love all, trust a few, do wrong to none
- William Shakespeare





Chik!

$
0
0
Dicomot dari akun @chikadjati pas lagi pamer foto kecil dengan baju adat

Hey, Chik!

Kamu tahu lah, aku nggak percaya hidup setelah mati dan surga dan neraka dan reinkarnasi. Semua susah dan senang terjadi karena semesta mencari imbang, ditimpakan ke manusia sesuai dengan keapesan dan keberuntungan masing-masing. Jadi, gimanapun, aku tahu kamu juga nggak akan bisa baca ini.

Tapi aku mendadak kangen kamu, Chik. Aku kangen malam-malam kita "berkelana" menjelajah Jakarta dan pulang naik Metromini. Kangen masa-masa ngobrol panjang tentang cowok insecure, ADHD, kenangan, dan jalan-jalan. Kangen menyesap Bailey's oleh-olehmu, atau ngobrol bareng Mas Aji sambil kita ngenyék-ngenyék OCD-nya Mas Marto. Kangen bantuin kamu wawancara anak-anak pesantren buat dapetin short course ke Amrik (dan pertanyaan konyolku di malam sebelum hari H, "gue nggak mesti pake jilbab, kan?"). Dan aku ngetik ini di tengah kesengganganku untuk sembuh sambil néthél koreng di dagu akibat jatuh dari motor tiga malam lalu. Rasanya najis, Chik. Aku nggak mau jatuh lagi. Masih ingat rasanya ketika tulang di sepanjang kaki seperti diregang paksa waktu badanku tertimpa motor dan telapak tersangkut step. Atau perih paripurna di hampir tengah malam saat kapas beralkohol diusap ke luka terbuka, meskipun mbak-mbak Bumi Sehat berulangkali meminta maaf sebelum membersihkan seluruh pasir yang menancap di daging. Dan aku diyakinkan bahwa di bawah kulit semua orang adalah putih. Jadi, nggak perlu lah krim pemutih yang digila-gilai perempuan yang merasa buruk rupa karena berkulit gelap dan iklannya sering kita tertawakan.  

Chik,

Seminggu lalu teman seangkatanku meninggal karena lupus. Dan kamu juga akhirnya menjemput maut akibat kanker yang menggerogoti tubuh. Teman dekatku malah leukemia. Dan sakitnya jatuh dari motor mungkin nggak ada seupil-upilnya sakit karena kanker, tapi aku malah ingat kamu, Chik. Ingat temanku yg luluh karena lupus dan temanku yang tegar melawan leukemia. Buatku, kalian pemenang karena hidup tak sekadar menunggu mati.

Kegetolanmu itu lho, Chik... Bantuin Tante Ai untuk Akber dan waktu luang yang selalu kamu sempatkan untuk teman-teman di sekelilingmu, sampai kadang-kadang kamu hampir nggak punya waktu untuk dirimu sendiri. Dan sifatmu itu yang selalu ingin tahu, selalu penasaran, tapi nggak pernah lupa bersenang-senang. Kamu, yang suka backpacking, yang kepingin menelusuri pojokan Cina dan menabung mati-matian. Dan pilihanmu untuk akhirnya melepas kerudung. Aku suka gestur itu. Waktu kutanya alasanmu, kamu bilang, "pake atau nggak pake, ya semau-maunya gue aja. Kalo gue pengen juga ntar gue pake lagi". Dan kamu adalah salah satu dari sekian banyak pembuktian, bahwa semua perempuan yang akhirnya lepas kerudung terlihat lebih cantik dan orisinil, lebih asyik menjadi diri mereka sendiri, lebih nyaman dijadikan teman.

Kemudian kita sama-sama disibukkan dengan urusan masing-masing dan hampir nggak punya waktu lagi buat melakukan kekonyolan-kekonyolan lepas tengah malam. Kita juga nggak pernah lagi ketemuan nggak sengaja di keriaan-keriaan pekerja online yang sering kita sambangi (terutama di @obsat yang buatku tempat dinner gretongan dan buatmu tempat ngangsu kawruh sambil bertugas livetweet). Sampai aku mindahin pantat ke Bali pun aku nggak sempat pamitan sama kamu.

Aku kehilangan kamu, Chik. Lalu aku iseng kirim pesan di WhatsApp dan kamu balas lebih dari seminggu kemudian. Tadinya aku masih berprasangka baik. Kamu hanya sibuk, rempong dengan urusanmu dan teman-temanmu, dan masih baik-baik saja di Jakarta atau di Malang atau di mana pun kamu sedang melangkahkan kaki sambil menggendong ransel. Namun apa yang kamu ceritakan malah bikin pelupukku panas. Kamu cerita tentang penyakitmu, tentang perjuanganmu, tapi tetap positif sambil cengengesan.      

Hey, Chik!

Aku udah nunggu lho. Kamu bilang kamu mau ke Ubud, minta dicarikan homestay untuk beristirahat bareng mamamu yang hebat itu, yang nggak pernah lelah mengurus dan menjagamu selama masa sakitmu. Padahal aku udah cariin, di Monkey Forest, dekat tempat kerjaku dulu. Kamu pasti suka. Tempatnya teduh, banyak pepohonan. Mirip Taman Langsat. Koneksinya kenceng mampus. Ya kamu tau lah, sebagai manusia-manusia digital, internet adalah detak jantung. Dan kamu juga tau I'll work for bandwidth. Di depan loket masuk hutan penuh monyet itu ada meja yang di atasnya bertumpuk pisang menggiurkan dengan papan penanda bertuliskan "OFFICIAL MONKEY FOREST BANANAS".

Ini lho, Chik, yang mau aku tunjukin ke kamu. Dipungut dari sini.

Aku udah nggak sabar lho, Chik, mau nunjukin ke kamu. Mau cekikikan, mau nyinyirin betapa mindset Orba yang gila keseragaman dan serba resmi masih saja dipakai. Padahal kabinet berkali-kali ganti dan korupsi berkali-kali bermutasi.

Hey, Chik!

Ternyata kita nggak pernah ketemu lagi. Waktu aku lihat fotomu di sosmed dengan gaun rumah sakit dan tangan tertancap infus, nggak tau kenapa aku sudah ikhlas. Aku cuma komen, semoga yang terbaik yang terjadi buatmu, karena aku nggak berdoa. Karena seringnya, insting bertahan hidup kalah oleh insting mati, saat semua sel tubuh berada dalam titik nadir dan pejuang-pejuangnya harus tunduk pada hukum biologis setelah babak bundas mati-matian melawan. Dan mungkin itu yang terbaik.

Aku ngiri sama kamu dan Cobain dan Hendrix dan Lauper dan Morisson dan Buckley dan Winehouse. Kamu mati muda, di puncak pencapaianmu sebagai manusia. Dan kamu belum genap tiga puluh. Dan beberapa hari kemarin, ketika dagu dan jidatku sedang nyonyor-nyonyornya dan painkiller membuat mukaku bengkak, aku bertemu nenek Jerman usia enam tujuh yang bangga bercerita tentang petualangannya jadi backpacker sejak umur 30. Waktu aku bilang aku ngiri, nenek itu membalas, "No, you shouldn't! You have your life ahead of you! You have the right attitude and spirit. Just focus in what you want, and you'll get it in time. I have the feeling you will!" Omongannya kamu banget, Chik!

Aku banyak belajar dari kamu, Chik. Belajar tentang fokus, tentang semangat, tentang mencari akar masalah, tentang anger management, tentang mendengar, tentang pertemanan. Kamu itu guru, karena hidupmu yang sebentar adalah cermin buat sekelilingmu. Karena selelah apapun, kamu tetap senyum. Karena kamu nggak pernah menghakimi. Karena kamu selalu objektif. Dan karena kamu sahabat yang netral, bahkan saat bergosip sekalipun. Dan sejak kamu nggak ada, ketika aku iseng melihat langit Bali yang jernih bertabur bintang, aku tunjuk satu bintang paling terang dan teriak,

"Itu Chika!"

Your spirit carries on, dear friend...





Hello Again, 15!

$
0
0
Gambar nyomot dari Wiki


You'll know your true friends not at your shiniest moments but at your darkest times. Cherish them

Jadi, hampir semingguan ini saya invalid. Nggak bisa keluar beli makan, nggak bisa klabing (klayapan bingung) pake motor. Nggak bisa nongkrong atau ngopi-ngopi unyuk di mana kek gitu. Semua gara-gara koreng yang pas terletak di tempat-tempat strategis, yang ketekuk sedikit aja sakitnya tembus sampai ke anus.

Di email resign dari tempat kerja akhir November lalu saya bilang kalau saya sudah kewalahan menjalankan kehidupan ganda, antara jadi manusia biasa dan jadi superhero. Akhirnya saya harus memilih, dan pilihan jatuh pada superhero. Selasa malam kemarin itu adalah salah satu prasyarat yang harus saya tempuh untuk mendapatkan superpower, yaitu mengadu muka dan kaki ke aspal. Ternyata saya lupa mengakifkan kemampuan itu. Jadinya ya nyonyorlah dagu dan betis kanan dan perut kiri dan kedua tangan. Hanya kaki kiri saya saja yang mulus tanpa luka. Tapi memar membiru di beberapa tempat. Dan benturan di jidat membuat saya terlihat seperti mahluk hibrid antara Kaiju dan Hell Boy.

Namun satu hal yang membuat saya nggak blangsak banget, karena saat kejadian itu saya bersama seorang partner in crime yang menguntit ketat di belakang dengan motornya sendiri. Kami habis nge-date threesome bareng seorang ibu cantik baik hati dan membicarakan project urek-urek. Saya kepenuhan adrenalin, karena apa yang mereka bicarakan adalah project saya juga yang nggak selesai-selesai sejak dinosaurus masih menguasai bumi. Lalu setelah threesome sampai lemes, saya dan si partner ini cengengesan di parkiran, nggak bisa ngomong apa-apa. Dia tahu saya tahu, bahwa apapun yang kami inginkan memang akan mendapat jalan, lengkap dengan howto-nya.      

Namun entah pikiran yang terlalu penuh atau nasib yang terlalu apes, ujian itu datang juga. Ya marut kaki ke aspal itu tadi. Tapi dia sigap menunggu saya siap bangun, meminggirkan motor sewaan dengan satu spion berantakan dan udah nggak jelas bentuknya, mengecek reflek saya, dan menghubungi orang-orang yang tepat, yang nggak bakalan panik dapat kabar saya nyungsep.

Lalu terjadilah episode mencoba lucu di hadapan kapas beralkohol pengusap luka, karena menangis (apalagi teriak) sangatlah nggak lady-like. Atau pito-like. Lalu partner in crime lainnya datang menembus malam, mengendarai motor berantakan yang teronggok di parkiran BPD, sejauh lebih dari 10 km. Big Guy lembut bersuara pelan ini yang sabar sekali mengurusi saya saat kesakitan, bolak-balik membelikan saya makan dan pesanan, nyengir kalau saya mendadak marah-marah, mendisiplinkan dan mengajak main Hamilton, puppy blang bungkem asuhan saya selama ditinggal mommynya, bahkan menunggu saya creambath karena 4 hari nggak keramas itu menyiksa sekali.  

Sampai di kos induk semang saya bertandang, menanya kabar sambil mengernyit ketika melihat mahakarya saya. Lalu dibikinkannya saya jus tomat hangat karena gerimis sedang menitik, dikumpulkannya bebuahan siap santap karena saya bilang habis menyeduh mie instan. Besok saya akan dihantarkan makan, jika kamar saya sudah ada tanda-tanda kehidupan, ujarnya.

Dalam masa penyembuhan saya sering bengong dan mengingat beberapa kejadian yang membuat hidup saya berputar 180º. Hijrah saya ke Bali demi mendamaikan naluri ibu saya yang khawatir anaknya tidak punya keyakinan. Kebosanan saya di tempat kerja padahal saya bisa berenang di bandwidth. Pilihan saya untuk keluar dari zona nyaman. Orang-orang baru yang datang. Orang-orang lama yang pergi. Pasangan-pasangan jiwa yang lain lagi. Terjun bebas tanpa parasut dan memasrahkan siapapun di bawah sana untuk menangkap saya. Semua itu lebih efektif daripada menenggak painkiller pemicu alergi yang membuat muka saya seperti Klingon, sambil sesekali meringis menahan tangis saat koreng tertekuk ketika mau pipis.

Dan hari ini 15 di bulan terakhir. Biasanya saya selalu matikan ponsel atau tidur seharian saat hari ini datang. Namun dia selalu tepat waktu. Setahun sekali berkunjung tanpa alpa. Dan saya selalu merasa kaku, entah bersyukur atau menyumpahserapah ketika dia menggedor pintu.

Tapi tahun ini tidak. Saya memutuskan, sejak Januari, bahwa saya akan bersyukur. Meskipun sedang jobless. Meskipun sedang nyonyor. Meskipun masih saja jomblo. Saya bersyukur untuk apapun dan siapapun yang membuat saya hidup dalam mimpi saya sejak lama: jadi manusia merdeka dan punya teman sejati.

Tahun ini saya tidak mau mengenang mati. Saya ingin murni merayakan hidup, sepenuh-penuhnya.

Terima kasih, 15!

Holstee Manifesto. Life manifesto




Karena Klien adalah TUHAN!

$
0
0
Screenshot dari sini


None are more hopelessly enslaved than those who falsely believe they are free
Johann Wolfgang von Goethe

Berita hari ini bikin saya relapse, mengenang lagi masa-masa jadi Supporting PR khusus media monitoring di sebuah agensi kecil di pojokan Jakarta Selatan. Lembur? Oh, everyday is lembur day. Seminggu pertama saya bekerja, saya sudah harus pulang jam 4 pagi karena approval klien untuk launching besok pagi baru masuk pukul 8 malam. Lalu berlembar-lembar media kit yang harus saya terjemahkan (karena klien adalah perusahaan IT multinasional), dan berbaris-baris kolom excel menyusul sebagai laporan post-event. Belum lagi berbagai report berkala dan tematik. Dan jangan tanya berapa rim kertas kami habiskan dalam setahun untuk monthly report bagi 3 divisi berbeda. Bagus lah semua didigitalkan dalam keping cakram data.

Peraturan kantor bagi saya agak dilonggarkan, sih. Karena nggak ketemu klien, saya boleh bercelana pendek, kaos oblong dan sandal jepit. Itu surga banget, karena teman saya yang Junior PR harus berpakaian rapi dan siap sedia ditenteng meeting. Tenggat saya jam 10 untuk daily report ke klien dan biasanya sedikit, kecuali kalau ada event. Makanya saya bisa datang pukul 9.30. TAPI, saya nggak punya tandem karena saya dedicated buat klien. Saya nggak boleh sakit, nggak boleh cuti. Pernah suatu kali perut saya bermasalah, dan OB kantor datang ke kos, membawakan materi yang harus saya report. Dan saya mengetik report tentang klien sambil kabur ke toilet setiap 15 menit. Blah!

Suatu hari saya tertegun memandangi berlembar-lembar peraturan tentang HPH yang harus saya terjemahkan dalam bahasa Inggris. Saya datangi Account Manager, karena saya nggak suka mem-backing perusak hutan. Dengan nada disabar-sabarkan, AM saya bilang, "Pito, pekerjaan PR itu seperti pengacara. Nggak semua tertuduh ternyata bersalah. Kita cuma kasih hak bicara kepada klien karena pemberitaan media sudah membuat opini publik. Jadi, ini cara klien menyuarakan kebenaran." Macam saya bisa diyakinkan dengan omongannya itu. Tapi untung saja kantor saya nggak menang pitching. Tangan dan pikiran saya batal kotor.

Saking seringnya saya lembur, saya sudah jadi doktor--mondok di kantor. Kantor yang menempati salah satu rumah mewah ini sering saya manfaatkan untuk mandi air hangat dengan shower sehabis begadang garap laporan. Saya punya loker pribadi di laci meja kerja yang lumayan besar. Isinya pakaian dan baju dalam bersih serta perabotan mandi. Saya bahkan dibelikan bunkbed sendiri kalau bosan tidur di sofa yang lumayan bikin punggung pegal. Managing Director saya super baik, dan ternyata tantenya dosen saya dulu. Saya sering dipanggil makan siang alih-alih dimarahi karena report yang berantakan atau tenggat yang luput. Tapi jangan tanya Account Manager saya. Silsilahnya yang sebagai keponakan Ibu MD membuatnya nyaris suci. Jika ada kesalahan, itu adalah kesalahan bawahan. Padahal saya sering melakukan pekerjaannya karena saya nggak sabar nunggu dia selesai mendengar curhat personal klien kami, pukul dua pagi.

Apakah kami digaji besar? Nggak juga. Standar. Tapi karena saya nggak punya ijazah maka bekerja di kantor PR seperti membalikkan omongan keluarga besar bahwa saya nggak akan jadi apa-apa. Tapi pembuktian ini teramat sangat berdarah-darah. 

Rekan seruangan saya sempat menutupi dirinya mengidap leukemia. Kami nggak pernah sadar bahwa setiap event besar yang biasanya Jumat sore, dia harus menghabiskan akhir pekan di rumah sakit karena kelelahan. Saya pikir adalah hal biasa kalau dia nggak balik ke kantor dan langsung pulang. Ternyata dia harus bergegas cari taksi ke RS langganan sambil menahan darah mengucur dari hidung. Dan ketika akhirnya dia mengaku sakit pun beban pekerjaannya tidak berkurang. 

Tapi selama berada di "padepokan" itu, kami banyak dapat pelajaran. Buat teman saya yang leukemia, ini adalah pembuktian bahwa dia mampu mengaplikasikan ilmu yang dia dapat dari kampus Jaket Kuning, pembuktian bahwa penyakit is nothing, pengisi waktu luang dengan sesuatu yang menyenangkan (sekaligus melelahkan) karena toh gaji yang dia dapat tidak seberapa dibandingkan uang tunjangan dari bunga deposito keluarganya. Buat saya, ini adalah tiket untuk merdeka. Bisa jalan, nongkrong, bela-beli pakai uang sendiri, untuk nggak diomongin sebagai beban keluarga, untuk mendiamkan mulut-mulut nyinyir bahwa saya yang jomblo kronis tanpa ijazah ini masih bisa nyetor uang ke rumah, bisa kerja di kantor PR tanpa harus dandan cantik dan tanpa harus jadi kurus, dan bisa nyicilin motor untuk Babab. 

Kami merasa senasib menghadapi klien dan tumpukan permintaannya dengan budget yang tiap tahun makin berkurang, AM dan AE sengak, dan bahkan finance yang seringkali nggak ngerti jalur duit klien.         

Lalu ketika saya dan rekan kerja saya itu sudah merasa cukup, kami resign namun masih sering nongkrong bareng. Dia sudah sibuk dengan sekolah fashion-nya, dan saya sibuk jadi copywriter freelance di agensi imut, dekat dengan kantor lama. Saya malah merasa agak dimanusiakan di sini. Kalau ngerjain tenggat di kantor malam-malam, minimal ada nasi goreng atau pecel ayam terhidang. Teman-teman freelance saya juga lucu-lucu. 

Sampai kami dapat kerjaan annual report untuk salah satu bank terkemuka. Saya dan tim berbagi bab demi bab yang harus diulas dalam laporan. Kalau skill kami timpang, ya tinggal editornya aja yang bakalan jambak-jambak rambut kepusingan. Namun saya kerja dalam tim, dan beban kami rata. Kerjaan yang bikin kami stress membuat kami ngelawak melulu. Prambanan Project sih sudah terlalu sering. Membangun 1000 candi semalaman itu nggak ada seupil-upilnya sama apa yang kami kerjakan. Merombak layout dalam waktu kurang dari 2 jam atau menerjemahkan 100+ pages dalam 2 hari... Ah, kami sudah biasa!

Tapi kadang ada yang temen makan temen juga. Pernah suatu tengah malam Mbak Account Executive menelepon, minta slot waktu untuk kerja terjemahan yang harus selesai besok pagi jam 8. Padahal baru beberapa menit yang lalu saya pulang, habis kejar setoran dan 3 hari tidak tidur. "Sedikit kok, Pit. Cuma 35 halaman doang," ujarnya. Saya nggak pakai mikir. Setenang mungkin saya jawab, "Ya kalo dikit mah lu aja yang kerjain, Mbak. Gue mau bayar tidur." Lalu ponsel saya matikan. Benar-benar mati.          
Sejak saya ngantor sampai saya jadi freelancer yang namanya nggak tidur berhari-hari sih sudah hal wajar. Tapi sejarah paman saya yang meninggal karena gagal ginjal akibat kelainan bawaan yang luput ditangani serta kebiasaannya nenggak booster membuat saya nggak pernah menyentuh minuman semacam itu. Paling banter ya cuma kopi tanpa gula. Itu pun disandingkan dengan air bening yang jumlahnya harus lebih banyak dari kopinya. Tapi ya seringnya bablas sih, seharian di kantor bisa sampai 10 mug kopi. Minimal. 

Waktu saya mergokin AM saya telponan sama klien jam 2 pagi sementara saya berkutat dengan pekerjaannya itu, dia sama sekali nggak merasa bersalah. Seselesainya, dia bilang, "ini salah satu tugas jadi PR. Kadang-kadang suka cair antara personal dan professional. Tapi ya namanya servis, harus all in, biar klien nggak lari." Begitu katanya. Dan saya nggak setuju.

Di tempat freelance, pertama kali saya harus menggantikan meeting salah satu copywriter karena dia berhalangan, saya diwanti-wanti oleh Om Boss. "Tugas lu cuma revisi doang. Ini klien kakap, Korean. Lu mesti ati-ati, tapi mesti tegas. Kalo nggak ntar dia minta macem-macem." Lalu saya berangkat dengan moda ke medan perang. 

Sampai di kantor minyak punya Mr. Korean, kami harus langsung kerja. Well, saya doang sih yang kerja. AE saya cuma harus sit there and being pretty karena semua komunikasi dalam bahasa Inggris cuma bisa melalui saya. Ternyata dia nggak hanya minta revisi konten, tapi juga layout. Dia nggak cuma perlu copywriter, tapi graphic designer. Karena miskom ini lah saya harus rela merevisi lewat notes PDF, mencarikan tagline dan catchphrase yang tepat, dan semua dilakukan dalam suasana eksekusi. Bahkan pekerja lokalnya pun seringkali meminta maaf karena bos mereka sering kasar dan memaki dalam bahasa Korea. 

Saya harus tinggal sampai hampir jam 1 malam, sampai graphic designer dan copywriter senior pengganti datang. Mr. Korean heran karena saya beres-beres perabotan lenong. Dia nggak mau saya pulang. Katanya, ini tanggungjawab saya. Padahal saya sudah delegasikan kerjaan, dan saya beritahu kalau pengganti saya lebih senior, dan AE yang nggak ngapa-ngapain tapi dia lirikin terus itu punya anak kecil yang perlu mamanya. Waktu dia marah-marah sambil menahan ransel saya saat saya bangkit mau pulang, saya muntap. Dengan marah saya teriak, "FUCK YOU! We're going home!" Untung saja Om Boss saya baik. Balik ke kantor saya malah mendapat tepukan di pundak karena bertindak tepat.

Dulu saya malas mengaku kerja di agensi PR. Saya selalu bilang "memburuh di pabrik topeng" atau "jadi ronin" untuk menyebut kerja freelance, karena ya memang seperti itulah pekerjaan saya sesungguhnya. Memproduksi citra, menjalankan marketing strategi, padahal beberapa produk yang launching seminggu kemudian terbukti sebagai produk gagal dengan banyaknya keluhan di surat pembaca. Namun saya banyak belajar tentang busuknya korporasi. Tentang bagaimana sistemasi tekanan dari klien ke MD turun ke AM dan berakhir ke Junior dan Supporting PR yang ditekan paling gila. Atau dari klien ke AE dan turun ke freelancer tanpa sang AE tahu seberapa kemampuan para freelancer kebebanan kerjaan. 

Itu semua sedikit cerita-cerita saya bekerja di industri begituan. Mungkin saya ketiban apes aja, ngantor di tempat yang manajemennya kekeluargaan (atau berantakan, bahasa jujurnya). Ada juga kok perusahaan PR yang manusiawi, yang jam kerjanya pas 8 jam sehari, yang kalau lembur tertib dapat kompensasi, dapat bonus, dan jalan-jalan ke luar negeri. Ada juga kok anak PR yang masih bisa bikin project pribadi semacam Coin A Chance yang digawangi Hanny dan Mbak Nyai. Tapi ya itu. Pintar-pintar saja memilih tempat kerja. Cerdas lah mau jadi bawahan orang yang seperti apa.   
        
Namun satu hal yang dipegang teguh sebagian besar atasan: bahwa klien adalah Tuhan. Dia Maha Pemberi Project, Maha Pengasih Budget, dan Maha Memperbaiki Portfolio. Untuk Sang Maha Klien-lah kita harus memuja, menjilat, dan membuat segalanya jadi mungkin. Kita bebas jadi diri kita sendiri, merdeka mau ngapa-ngapain pun sampe njengking-njengking. Tapi ketika Sang Maha Klien memanggil, kita harus patuh dan tunduk memenuhi panggilanNya. Bahkan ketika harus kehilangan diri sendiri, ketika harus kehilangan kemampuan berpikir sendiri, ketika harus mempercayai kebohongan yang tiap hari didengungkan di telinga kita oleh teman-teman kerja sendiri. 

Saya nggak suka seperti itu. Dan saya bukan robot yang bisa diperintah-perintah. Jadinya ya... Saya cabut lagi. Karena saya memang sudah tidak bertuhan sejak dalam pikiran.


  


Tentang Mas Ipung

$
0
0
Mas Ipung, pada suatu masa. Photo courtesy of Anggara Mahendra


“Death ends a life, not a relationship.”
Mitch Albom in Tuesdays with Morrie

Lelaki kurus kecil murah senyum dan bermata ramah ini nama aslinya adalah Ari Wangsa. Entah bagaimana dia menyebut dirinya Mas Ipung. Kalau kamu sempat bercakap dengannya, seserius apapun, akan kamu dapati kejenakaan yang dia sisipkan dan memberi warna pada tiap ucapannya. Mungkin itu yang membuat siapapun betah ngobrol dengan lelaki lajang empatpuluhan dengan rambut dreadlock disanggul ke atas. Konon rambutnya itu bertuah. Pernah suatu malam dia kesal dan diurailah rambut keriting nan keramat itu. Hanya bertahan semalam. Keesokan paginya saat dia terbangun, si rambut kembali dreadlock seperti sebelumnya. Andai Marge Simpson ke Bali, dia pasti ingin tahu rahasia sanggul dreadlock Mas Ipung supaya tidak terlihat tinggi menjulang bersanding Homer jika ingin membuat foto keluarga.

Mas Ipung bukan orang asli Bali. Tapi sesuatu memanggil dan mengharuskannya ke Bali untuk berdiam di Subaya, sebuah desa kecil nan dingin di kaki Kintamani. Yang saya maksud dingin itu ya... dingin mampus. Jam dua belas siang saja turun kabut. Tidak seperti anak-anak twitter, matahari di sana jarang sekali eksis. Di desa yang hampir tidak ada sinyal ponsel itu, Mas Ipung adalah pemangku. Pemimpin adat, ujung tombak pelaksanaan ritual Hindu dalam satu pura di banjar sekaligus pelayan masyarakat dalam urusan adat. Dia hidup untuk orang-orang di sekelilingnya: warga desa--kanak-kanak hingga kakek-nenek--dan orang-orang kota yang ingin rehat sejenak dari kesibukan rutin membosankan (salah satunya saya).

Mas Ipung tinggal di rumah sederhana semi permanen berlantai semen. Katanya sih rumah itu dulunya kandang sapi. Menurut salah satu teman saya, tempat Mas Ipung itu adalah lokasi tepat untuk mempraktekkan the art of doing nothing. Dari pintu masuk, jika malam cerah, kami dapati secarik pemandangan laut dengan kelap-kelip lampu perahu nelayan di kejauhan yang diapit dua buah gundukan hampir sebesar gunung. Paginya, jika ingin membuat minuman hangat, seduh saja teh dan petik jeruk nipis dari halaman. Voila! Your own hot fresh lemon tea!

Saya nggak sengaja mengenalnya setahun lalu. Awalnya teman-teman baru saya di Bali penasaran bagaimana jadinya jika saya, sebagai skeptis-rasionalis (untuk tidak menyebut ateis), bertemu dengan spiritualis rock n roll van Subaya. Saya ditakut-takuti dengan kemampuan Mas Ipung yang lancar membaca pikiran orang lain seperti membaca koran. Saya nggak suka. Bagi saya, benak adalah benteng pertahanan terakhir paling pribadi bagi setiap manusia tempat dia bisa menyimpan segalanya yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan membaca pikiran orang lain adalah sama dengan pembobolan privasi. Setipe dengan firewall breaching, security hacking, atau rooting gadget Android.

Suatu sore saya tiba di Subaya yang rasanya seperti berada di kulkas. Saya berhasil mendaratkan pantat di karpet buluk, nyempil di antara gerombolan begundal baik yang saya panggil teman, dan diberi gelas berisi cairan bening penghangat tubuh. Beberapa menit kemudian Mas Ipung sudah di sebelah saya, menyodorkan tangan dan senyuman lebar di bibir. Saya sudah agak tipsy, namun berusaha alert. Saya ingat betul tentang mind reading-nya. Tapi saya seperti hilang dalam sepasang mata teduh yang hampir selalu menyipit karena pemiliknya tak pernah berhenti tertawa lepas atau tersenyum.

Kemudian kekhawatiran saya terjadi. Entah bagaimana, dalam lingkaran besar kawan-kawan yang duduk bersila, saling bercanda, bernyanyi dan memetik gitar, dan dengan gelas arak yang teratur berkeliling, kami ngobrol berdua. Topiknya? Keyakinan! Dan itu bikin saya mendadak segar karena kepala saya terpaksa bekerja. Saya baru sadar beberapa saat kemudian bahwa saat itu juga saya sudah diretas. Namun bicara dengan Mas Ipung tentang ke(tidak)yakinan sama sekali tidak perlu berargumen atau memasang benteng virtual berupa autopilot mode iyain-aja-biar-cepet (hal yang sering saya lakukan jika bertemu dengan mereka-mereka™ dari Departemen Urusan Keyakinan Orang Lain). Dia mengerti. Dan baginya berkeyakinan atau tidak bukanlah yang terpenting. Namun menjadi orang baik, itu harus. Mas Ipung menyamankan. Perlahan adegan Miyabi yang saya replay berkali-kali di kepala saya pun memudar. Saya paham Occlumency Mas Ipung terhadap saya itu hanya salah satu cara mengenal tamu barunya. Dan saya yakin Mas Ipung juga paham bahwa Legilimency otomatis yang saya terapkan adalah bentuk insting bertahan.          

Beberapa hari yang lalu teman saya mengabarkan bahwa Mas Ipung meninggal dunia di Bandung akibat infeksi saluran pernafasan. Saya tidak tahu harus bereaksi apa. Untuk bersedih, saya sudah dari dulu bersedih karena medan ke Subaya perlu kemahiran lebih tinggi daripada kemampuan saya nyetir motor dan tidak memungkinkan saya mendamparkan diri sendirian ke sana, sementara saya terlalu belagu untuk minta diantar. Saya juga sedih melihat Mas Ipung bermata sedih melepas kami pulang satu persatu, mengingatkan saya pada almarhumah Nenek yang bersikukuh tinggal di dalam kamar saat semua anak-cucunya akan kembali ke Jakarta sehabis berlebaran di rumahnya. Kehilangan? Saya sudah lama rindu ketemu Mas Ipung lagi, nggak untuk ngobrol berat-berat, tapi untuk mentertawakan hal-hal konyol yang dia ceritakan tanpa malu. Ternyata pertemuan saya yang pertama itu hanya menjadi satu-satunya tanpa sempat berulang. Tapi saya ingat kehangatan kata-katanya ketika menawarkan kamar suci dengan banyak benda ritual dan harum wangi dupa mengambang dalam ceruk sejuk bertirai berat sebagai tempat saya "meditasi" berzikir lagu-lagu Homicide yang dia bilang "musik teriak-teriak". Dan meskipun saya bukan satu-satunya, saya bangga karena saya pernah dimintain cium di pipi Pak Pemangku yang keren tapi tirus, berkerut dan kering itu. Hihi. Rasanya itu lebih baik daripada diminta cium tangan.

Saya skeptis dengan kehidupan setelah mati, dengan surga dan neraka, dengan nilai benar-salah, dengan norma, dengan aturan, dengan hukum, dengan keyakinan. Semuanya bisa didebat. Semuanya bisa dibuktikan sebaliknya. Saya juga tidak mudah percaya dengan ketulusan dan kebaikan orang lain yang katanya tanpa pamrih, karena semua hal adalah transaksional, apapun bentuknya. Tapi bersama Mas Ipung dan teman-teman di Subaya, waktu seperti terhenti. Yang ada hanyalah saat itu, the moment, the laughter, the stories, dan beberapa celetukan nakal ketika dia "skimming" ke salah satu kepala kami, dan hanya si pemilik kepala yang terkejut kemudian salah tingkah. Dan dia, salah satu orang yang mengembalikan kepercayaan saya bahwa manusia bisa berbuat baik hanya karena ingin berbuat baik tanpa alasan apapun, sekarang hanya tinggal nama.

But still you live forever in our memory, Mas Ipung. We missed you already.  

Photo courtesy of Facebooknya Mas Hendra, bos Bali Orange slash Bali Outbound--asal semua hal bermula.





Ndoroku, Ndoromu, Ndoro Kita Semua

$
0
0
Rupamu, Ndor... (Gambar diambil dari sini)


"Lelaki tidak menangis, tapi hatinya berdarah"
- Ndorokakung aka Ndoro Bedhes aka Dek Wi (khusus buat pinisepuh yang rambutnya udah putih semua) aka Lelaki Wangi Pandan

Om-om di atas itu dulu adalah temen saya gojekan meskipun akun twitter kami nggak saling follow-followan. Walau mukanya nakal, ada beberapa hal baik yang sering beliau bagi dengan saya. Misalnya, tebengan mobil ke kost dari tempat nongkrong. Atau sebuah sapaan hangat "Piye, Nduk?" sedetik sebelum beliau mendaratkan bokong yang tergerus zaman ke kursi panjang di depan gerobak angkringan. Kemungkinan besar beliau nggak tau state of mind saya saat itu. Tapi beberapa kali "Piye, Nduk?" itu menyelamatkan kejiwaan saya karena gondok dan sebal tak terkira ke beberapa manusia yang saya nggak bisa tonjok atau maki-maki.

Kesan pertama bertemu beliau mungkin akan menipu (kecuali kamu mbak-mbak ayu-cantik-semlohai) karena beliau bisa sangat kemaki dan mbois meskipun senyuman ramah tak pernah lepas dari wajahnya. Namun karena pengalamannya yang buwanyak dan sangat berwarna, beliau bisa jadi sumber ilmu hidup tak putus-putus dan tak segan berbagi.

Suatu waktu saya pernah membuktikan waktu Time membuat tindakan gokil dengan menampilkan wajah perempuan dari negara Islam yang hidungnya dimutilasi si suami. Saya genjot Ndoro Mbois itu dengan pertanyaan-pertanyaan riwil tak habis-habis, karena latar belakang beliau sebagai PEMRED sebuah harian online terkeren saat itu. Dan beliau kalem-sabar-sembadha meladeni saya dengan jawaban-jawaban yang jauh lebih personal dari sekadar jawaban Mbah Google. Saya seperti habis kuliah jurnalistik yang menyenangkan setelahnya.

Tidak itu saja. Waktu beliau menjabat Manusia Kursi pun saya sempat riwil protes sana-sini. Dan beliau pun selalu kalem dan nyengir menjawabi pertanyaan-pertanyaan dan ketidaksetujuan saya (dan tentang apa itu, saya juga udah lupa).

Tapi satu hal yang membuatnya sangat manusuia: ketika beliau bercerita tentang para buah hati, putra-putrinya. Kamu akan dapati matanya menyala cerlang cemerlang namun teduh. Sangat menyenangkan.

Lalu, kenapa saya mendadak ngeblog soal Ndoro?

Gara-gara artikel ini dan tulisan Tante Ai, salah satu orang hebat lain (yang saya sering ngaku jadi anak (haram)nya) yang saya kenal. Dan karena saya lagi pake kaos ini:


Gambar diambil dari sini. Iya, saya susah move on...


Dan buat para (mantan) blogger lawas, pasti kenal dengan gaya judul di atas (halo! Masih ngeblog?™).

Lalu, kenapa saya ngeblog lagi?

Ummm... Saya kangen orang-orang lama kaya ilmu dan waktu yang bisa saya todong pertanyaan macam-macam dan nggak segan menanggapi.

Saya. Rindu.


Viewing all 106 articles
Browse latest View live