![]() |
Gambar diambil dari sini. |
Living well (and happy, for sure) is the best revenge
- George Herbert (1593-1633), an English poet, orator, and an Anglican priest.
Dalam risalah Muhammad SAW dikisahkan betapa tabah manusia pilihan itu menerima lemparan kotoran di wajah. Dalam kisah Katolik pun diceritakan betapa Yesus bersabar memberi pipi kirinya saat yang sebelah kanan ditampar. Hampir selalu kedua dongeng ini didengungkan ketika berhadapan dengan orang meyimpan dendam, seakan menjadi manusia dengan kestabilan emosi luarbiasa semudah contong ini memaki “fuck you!”.
Sini saya beritahu: kamu nggak harus begitu.
Sebagai manusia biasa sekaligus perwujudan hasil evolusi terbaik dan paling pungkas, kita punya yang namanya mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism). Nggak hanya berupa bunyi berisik dalam perut saat lapar atau reflek menarik tangan dari panci panas yang sangat fisiologis, secara psikologis pun kita punya mekanisme tersebut. Beberapa luka mental dihasilkan dari trauma masa kecil membuat seseorang membloking pikiran, misalnya, karena mengenang menjadi terlalu menyakitkan. Ini biasa terjadi pada penyintas yang mengalami penindasan seksual.
Begitu pula dengan dendam. Sepengalaman saya, dendam timbul ketika ego maupun harga diri seseorang disenggol tapi si empunya ego nggak bisa muntap saat itu juga karena satu dan lain hal. Biasanya sih karena posisi pengusik lebih tinggi daripada yang diusik. Hasilnya adalah rasa malu, marah dan nggak terima, lalu bersumpah suatu hari nanti si pelaku akan mengalami hal serupa.
Ini terjadi pada saya, berkali-kali. Tapi satu yang paling saya ingat adalah ketika salah seorang anggota keluarga besar yang dituakan dan sangat dihormati mempermalukan saya di depan umum.
Saya nggak perlu cerita lah detail-nya bagaimana. Tapi saat itu saya merasa luarbiasa marah namun nggak bisa keluar karena Ibu sudah mendelik murka dan itu sudah cukup menahan ucapan dan makian apapun yang keluar dari mulut saya. Dalam hati saya menyumpahserapah, “one of these days you’ll chew what you spit. What goes around comes around.”
Saya mengingat semuanya tanpa bisa berkutik, bertahun-tahun setelahnya. Sementara si orang tua itu mungkin tidak ingat lagi apa yang telah dia lakukan. Dia tidak tahu bahwa saya ”menyiksa” dan “membunuhnya” berkali-kali dalam pikiran sampai saya bosan dan lupa sendiri. Hingga suatu hari semuanya dijembreng di depan muka, ketika beliau wadul betapa blangsak hidupnya sementara saya masih bisa cengar-cengir bahagia.
THAT, my friend, was really paid off.
Lalu hari berganti, cuaca berubah, daun-daun tetap tumbuh. Iya, saya nyontek lagunya Slank. Tapi ini beneran. Karena seiring waktu berjalan itulah saya akhirnya belajar untuk lebih hebat lagi menyimpan dendam. Saya belajar bahwa mencintai dan membenci—dalam hal ini mendendam—bedanya cuma setipis jembut dibagi sejuta. Pada dua hal tersebut saya sama-sama meluangkan waktu dan usaha untuk mengandai-andai dan bahkan membuat plot-plot konyol yang feasible dilaksanakan. Fuck! Loving my enemy was something I didn’t wanna do!
Sampai suatu hari… Aha! Akhirnya saya ketemu satu rumus pembenaran sederhana (karena saya sebenernya males mikir). Sesungguhnya orang-orang yang rese dengan kecengar-cengiran saya adalah orang-orang yang nggak bahagia, secara tidak langsung menuduh saya bertanggungjawab atas ketidakbahagiaan mereka karena mereka sendiri nggak mampu mengubah keadaan tersebut. Makanya mereka nunjuk-nunjuk kesalahan saya yang bagi saya bukan masalah. Ya gitu. Karena mereka nggak seneng liat orang seneng. Bagi mereka, itu ngeselin. Seperti eek yang nempel di sela silit karena cebok nggak bersih dan baru berasa sejam kemudian ketika kering dan bikin kulit anus iritasi. Terus karena saya kebetulan nongol di toilet tempat pemilik silit jorok ini berhajat, saya disalah-salahin. Ya gitu deh. Keapesan yang adalah kesunyian masing-masing.
Terus kamu ngapain, Pit?
Ya saya sih sebagai penganut Cartesian abal-abal akan dengan senang hati men-diseksistensial-kan mereka, menganggap mereka sama sekali nggak ada dengan cara melanjutkan hidup, tetap bahagia, dan nggak pernah mikirin mereka lagi. Percaya sama saya, itu bahkan lebih ngeselin buat mereka, orang-orang apes yang merasa kebahagiaannya tergantung sama kesialan saya.
Dan karena bahagia saya ada di diri saya sendiri, saya juga nggak perlu kesialan orang lain untuk bikin saya senang. Lagipula, bales-balesan dendam nggak semengasyikkan bales-balesan surel atau kartu pos. Nggak bikin sehat secara mental, selain hanya mendatangkan kepuasan sementara yang beberapa menit kemudian juga paling udah lupa. Iya kalo cuma diantara saya sama si malang nggak bahagia itu. Kalau keluarganya orang malang itu nggak terima terus bales lagi ke saya, terus pacar saya (suatu hari nanti kalau ada yang apes mau nerima saya jadi pacarnya) nggak terima dan balas dendam lagi, gimana? Waktu yayang-yayangan kami kan akan berkurang karena kami sibuk mikirin mesti ngapain lagi selanjutnya. Itu sama sekali nggak produktif. Nggak sangkil—efisien.
Jadi, selamat Hari Selasa. Semoga semua mahluk berbahagia…
Dedicated to all survivors of life and whatever happened in between, including bullying. Don’t be afraid to stand tall and proud of what you are.
Be yourself, because everyone else is already taken (Oscar Wilde).